Selasa, 22 Oktober 2013

Upaya Hukum

Apabila pihak-pihak berperkara (Penggugat dan Tergugat) tidak dapat menerima putusan pengadilan, maka ia dapat menempuh upaya hukum agar putusan pengadilan tersebut dibatalkan dengan cara sebagai berikut :
1.    Mengajukan verzet yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan verstek.
Dasar Hukum Verstek : Pasal 149 ayat (1) RBg, pasal 125 ayat (1) HIR
Dasar Hukum Verzet : Pasal 153 ayat (1) RBg, Pasal 129 ayat (1) HIR.
2.    Mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan yang memutus perkara tersebut, yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan secara kontradiktur.
3.    Mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan yang memutus perkara yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) apabila tidak dapat menerima putusan banding.
4.    Mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan yang memutus perkara tersebut yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai hukum tetap.
Dasar Hukum PK : Pasal 23 UU No.4 Tahun 2004, Pasal 77 UU No.14 Tahun 1985. Permohonan Peninjauan Kembali atas putusan suatu perkara diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
1.    Putusan telah mempunyai kekuatan hukum (inkrach)
2.    Harus ada bukti baru (novum)
3.    Tidak lebih dari 6 (enam) bulan setelah Novum ditemukan.
4.    Pemohon PK harus disumpah atas penemuan novum tersebut.
Catatan : Upaya hukum perkara volunteer adalah kasasi dengan perkataan lain apabila pemohon tidak dapat menerima penetapan yang dijatuhkan hakim, maka ia dapat mengajukan kasasi tanpa melalui proses banding terlebih dahulu.

1. Upaya Hukum Biasa
Putusan Sela tidak dapat diajukan banding kecuali sekaligus diajukan bersama dengan putusan akhir. Pengajuan Banding Pengertian banding ialah permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang lebih tinggi (dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama) terhadap suatu perkara yang telah diputus oleh tingkat pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atau tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut:
1.    Permohonan banding diajukan kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukum meliputi pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara.
2.    Permohonan banding diajukan melalui pengadilan yang memutus perkara tersebut.
Syarat-syarat banding.
1.    Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.
2.    Diajukan masih dalam tenggang waktu banding.
3.    Putusan tersebut menurut hukum diperbolehkan banding.
4.    Membayar panjar biaya banding.
5.    Membuat akta permohonan banding dengan menghadap pejabat kepaniteraan pengadilan.
Masa Pengajuan banding :
1.    Bagi pihak berperkara yang berada dalam wilayah hukum pengadilan yang memutus perkara adalah selama 14 hari terhitung mulai hari berikutnya sejak putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada yang bersangkutan.
2.    Bagi pihak yang berada di luar wilayah pengadilan agama yang memutus perkara tersebut, masa bandingnya selama 30 hari terhitung hari berikutnya isi putusan disampaikan kepada yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.20/1947)
Pengajuan Kasasi
Pengertian Kasasi ialah pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang lebih rendah (pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama) karena kesalahan dalam penerapan hukum.Pihak yang tidak menerima atau tidak puas atas putusan pengadilan tinggi agama atau pengadilan agama (dalam perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat kasasi
1.    Diajukan oleh yang berhak.
2.    Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.
3.    Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
4.    Membuat memori kasasi.
5.    Membayar panjar biaya kasasi.
6.    Membuat akta permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan.
Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding.
Apabila syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak dikirim ke Mahkamah Agung, Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut membuat keterangan bahwa permohonan kasasi atas perkara tersbut tidak memenuhi syarat formal. Ketua PA melaporkan ke Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi tidak diteruskan ke MA (Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2001) Peninjauan Kembali. 
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Pengertian Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru yang pada pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh Hakim. Peninjaun Kembali hanya dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung.
Syarat-syarat permohonan PK
1.    Diajukan oleh pihak yang berperkara.
2.    Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3.    Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.
4.    Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang.
5.    Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
6.    Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama.
7.    Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu.
Masa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung mulai ditemukannya novum atau bukti baru dan sebelum berkas permohoan Peninjauan Kembali dikirim ke Mahkamah Agung, Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan novum tersebut.

Macam-Macam Putusan Pengadilan Hukum Acara Perdata

Putusan Pengadilan dibedakan  atas 2 (dua) macam (Pasal 185 ayat (1) HIR/Pasal 196 ayat (1) RBg), yaituputusan sela (tussenvonnis) dan putusan akhir (eindvonnis).
1. Putusan Sela
Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalnya, putusan sela PengadilanNegeri  terhadap eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara.
Dalam Pasal 190 ayat (1) HIR/Pasal 201 ayat (1) RBg menentukan bahwa :
“Putusan sela hanya dapat dimintakan  banding bersama-sama permintaan banding terhadap putusan akhir”
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal beberapa putusan sela, yaitu preparatoir, interlocutoir, incidentieel, danprovisioneel.
a.       Putusan preparatoir adalah putusan persidangan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan  segala sesuatu  guna mengadakan putusan akhir. Misalnya, putusan untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi.
b.      Putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Misalnya putusan untuk memeriksa saksi atau pemeriksaan setempat. Karena putusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka putusan interlocutoir akan mempengaruhi putusan akhir
c.       Putusan incidentieel adalah putusan yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa yangmenghentikan  prosedur peradilan biasa. Putusan inipun belum berhubungan dengan pokok perkara, seperti putusan yang membolehkan seseorang ikut serta dalam suatu perkara (vrijwaring, voeging, dantussenkomst)
d.      Putusan provisioneel adalah putusan  yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Misalnya dalam perkara perceraian, sebelum perkara pokok diputuskan, istri minta dibebaskan kewajiban untuk tinggal bersama dengan suaminya
2. Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.
Perkara perdata dapat diperiksa pada 3 (tiga) tingkatan pemeriksaan, yaitu :
a.       Pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan HIR (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk derah Pulau Jawa dan Madura) dan RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
b.      Pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura serta RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
c.       Pemeriksaan tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
            Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu putusan condemnatoir, putusan constitutief, dan putusan declaratoir.
a.       putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi. Hak perdata penggugat yang dituntutnya terhadap tergugat, diakui kebenarannya oleh hakim. Amar putusan selalu berbunyi “Menghukum .... dan seterusnya”
b.      putusan constitutief adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya, putusan yang membatalkan suatu perjanjian, menyatakan pailit, memutuskan suatu ikatan perkawinan, dan sebagainya. Amar putusan berbunyi : “Menyatakan ... dan seterusnya.”
c.       putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Misalnya, perjanjian antara penggugat dan tergugat dinyatakan sah menurut hukum dan sebagainya. Amar putusannya selalu berbunyi : “Menyatakan ... sah menurut hukum.”
Dari ketiga putusan akhir tersebut diatas, putusan yang memerlukan pelaksanaan (executie) hanyalah putusan akhir yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan akhir lainya hanya mempunyai kekuatan mengikat.
3. Putusan gugur (pasal 124 HIR / pasal 148 R.Bg)
Ialah putusan yang menyatakan bahwa gugatan / permohonan gugur karena penggugat / pemohon tidak hadir.
-          Putusan verstek (pasal 125 HIR / 149 R.Bg)
Ialah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak hadir meskipun telah dipanggil secara resmi. Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
a.       Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut.
b.      Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain serta tidak ternyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan yang sah.
c.       Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan.
d.      Penggugat hadir di persidangan.

e.       Penggugat mohon keputusan.