Selasa, 22 Oktober 2013

Upaya Hukum

Apabila pihak-pihak berperkara (Penggugat dan Tergugat) tidak dapat menerima putusan pengadilan, maka ia dapat menempuh upaya hukum agar putusan pengadilan tersebut dibatalkan dengan cara sebagai berikut :
1.    Mengajukan verzet yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan verstek.
Dasar Hukum Verstek : Pasal 149 ayat (1) RBg, pasal 125 ayat (1) HIR
Dasar Hukum Verzet : Pasal 153 ayat (1) RBg, Pasal 129 ayat (1) HIR.
2.    Mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan yang memutus perkara tersebut, yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan secara kontradiktur.
3.    Mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan yang memutus perkara yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) apabila tidak dapat menerima putusan banding.
4.    Mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan yang memutus perkara tersebut yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai hukum tetap.
Dasar Hukum PK : Pasal 23 UU No.4 Tahun 2004, Pasal 77 UU No.14 Tahun 1985. Permohonan Peninjauan Kembali atas putusan suatu perkara diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
1.    Putusan telah mempunyai kekuatan hukum (inkrach)
2.    Harus ada bukti baru (novum)
3.    Tidak lebih dari 6 (enam) bulan setelah Novum ditemukan.
4.    Pemohon PK harus disumpah atas penemuan novum tersebut.
Catatan : Upaya hukum perkara volunteer adalah kasasi dengan perkataan lain apabila pemohon tidak dapat menerima penetapan yang dijatuhkan hakim, maka ia dapat mengajukan kasasi tanpa melalui proses banding terlebih dahulu.

1. Upaya Hukum Biasa
Putusan Sela tidak dapat diajukan banding kecuali sekaligus diajukan bersama dengan putusan akhir. Pengajuan Banding Pengertian banding ialah permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang lebih tinggi (dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama) terhadap suatu perkara yang telah diputus oleh tingkat pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atau tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut:
1.    Permohonan banding diajukan kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukum meliputi pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara.
2.    Permohonan banding diajukan melalui pengadilan yang memutus perkara tersebut.
Syarat-syarat banding.
1.    Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.
2.    Diajukan masih dalam tenggang waktu banding.
3.    Putusan tersebut menurut hukum diperbolehkan banding.
4.    Membayar panjar biaya banding.
5.    Membuat akta permohonan banding dengan menghadap pejabat kepaniteraan pengadilan.
Masa Pengajuan banding :
1.    Bagi pihak berperkara yang berada dalam wilayah hukum pengadilan yang memutus perkara adalah selama 14 hari terhitung mulai hari berikutnya sejak putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada yang bersangkutan.
2.    Bagi pihak yang berada di luar wilayah pengadilan agama yang memutus perkara tersebut, masa bandingnya selama 30 hari terhitung hari berikutnya isi putusan disampaikan kepada yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.20/1947)
Pengajuan Kasasi
Pengertian Kasasi ialah pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang lebih rendah (pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama) karena kesalahan dalam penerapan hukum.Pihak yang tidak menerima atau tidak puas atas putusan pengadilan tinggi agama atau pengadilan agama (dalam perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat kasasi
1.    Diajukan oleh yang berhak.
2.    Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.
3.    Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
4.    Membuat memori kasasi.
5.    Membayar panjar biaya kasasi.
6.    Membuat akta permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan.
Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding.
Apabila syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak dikirim ke Mahkamah Agung, Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut membuat keterangan bahwa permohonan kasasi atas perkara tersbut tidak memenuhi syarat formal. Ketua PA melaporkan ke Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi tidak diteruskan ke MA (Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2001) Peninjauan Kembali. 
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Pengertian Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru yang pada pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh Hakim. Peninjaun Kembali hanya dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung.
Syarat-syarat permohonan PK
1.    Diajukan oleh pihak yang berperkara.
2.    Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3.    Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.
4.    Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang.
5.    Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
6.    Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama.
7.    Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu.
Masa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung mulai ditemukannya novum atau bukti baru dan sebelum berkas permohoan Peninjauan Kembali dikirim ke Mahkamah Agung, Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan novum tersebut.

Macam-Macam Putusan Pengadilan Hukum Acara Perdata

Putusan Pengadilan dibedakan  atas 2 (dua) macam (Pasal 185 ayat (1) HIR/Pasal 196 ayat (1) RBg), yaituputusan sela (tussenvonnis) dan putusan akhir (eindvonnis).
1. Putusan Sela
Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalnya, putusan sela PengadilanNegeri  terhadap eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara.
Dalam Pasal 190 ayat (1) HIR/Pasal 201 ayat (1) RBg menentukan bahwa :
“Putusan sela hanya dapat dimintakan  banding bersama-sama permintaan banding terhadap putusan akhir”
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal beberapa putusan sela, yaitu preparatoir, interlocutoir, incidentieel, danprovisioneel.
a.       Putusan preparatoir adalah putusan persidangan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan  segala sesuatu  guna mengadakan putusan akhir. Misalnya, putusan untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi.
b.      Putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Misalnya putusan untuk memeriksa saksi atau pemeriksaan setempat. Karena putusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka putusan interlocutoir akan mempengaruhi putusan akhir
c.       Putusan incidentieel adalah putusan yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa yangmenghentikan  prosedur peradilan biasa. Putusan inipun belum berhubungan dengan pokok perkara, seperti putusan yang membolehkan seseorang ikut serta dalam suatu perkara (vrijwaring, voeging, dantussenkomst)
d.      Putusan provisioneel adalah putusan  yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Misalnya dalam perkara perceraian, sebelum perkara pokok diputuskan, istri minta dibebaskan kewajiban untuk tinggal bersama dengan suaminya
2. Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.
Perkara perdata dapat diperiksa pada 3 (tiga) tingkatan pemeriksaan, yaitu :
a.       Pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan HIR (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk derah Pulau Jawa dan Madura) dan RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
b.      Pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura serta RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
c.       Pemeriksaan tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
            Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu putusan condemnatoir, putusan constitutief, dan putusan declaratoir.
a.       putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi. Hak perdata penggugat yang dituntutnya terhadap tergugat, diakui kebenarannya oleh hakim. Amar putusan selalu berbunyi “Menghukum .... dan seterusnya”
b.      putusan constitutief adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya, putusan yang membatalkan suatu perjanjian, menyatakan pailit, memutuskan suatu ikatan perkawinan, dan sebagainya. Amar putusan berbunyi : “Menyatakan ... dan seterusnya.”
c.       putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Misalnya, perjanjian antara penggugat dan tergugat dinyatakan sah menurut hukum dan sebagainya. Amar putusannya selalu berbunyi : “Menyatakan ... sah menurut hukum.”
Dari ketiga putusan akhir tersebut diatas, putusan yang memerlukan pelaksanaan (executie) hanyalah putusan akhir yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan akhir lainya hanya mempunyai kekuatan mengikat.
3. Putusan gugur (pasal 124 HIR / pasal 148 R.Bg)
Ialah putusan yang menyatakan bahwa gugatan / permohonan gugur karena penggugat / pemohon tidak hadir.
-          Putusan verstek (pasal 125 HIR / 149 R.Bg)
Ialah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak hadir meskipun telah dipanggil secara resmi. Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
a.       Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut.
b.      Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain serta tidak ternyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan yang sah.
c.       Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan.
d.      Penggugat hadir di persidangan.

e.       Penggugat mohon keputusan.

Selasa, 17 September 2013

Prosedur Mediasi di Pengadilan Berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Jenis Perkara Yang Dimediasi
Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. [Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008]
Tahap Pra Mediasi
Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi sesuai Perma No. 1 Tahun 2008 ini kepada para pihak yang bersengketa. [Pasal 7 Perma No. 1 Tahun 2008]
Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut:
a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;
b. Advokat atau akademisi hukum;
c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;
d. Hakim majelis pemeriksa perkara;
e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan
d, atau gabungan butir c dan d.
Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.  [Pasal 7 Perma No. 1 Tahun 2008]
Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.  Jika setelah jangka waktu maksimal yaitu 2 (dua) hari, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator. [Pasal 11 Perma No. 1 Tahun 2008]
Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik. [Pasal 12 Perma No. 1 Tahun 2008]
Tahap-Tahap Proses Mediasi
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.
Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari.
Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. [Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008]
Kewenangan Mediator
Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturutturut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. [Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008]
Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. [Pasal 14 Perma No. 1 Tahun 2008]
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.
Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. [Pasal 17 Perma No. 1 Tahun 2008]
Tugas-Tugas Mediator:
(1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
(2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
(3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
(4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. [Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008]
Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja, para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.
Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud diatas, berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan. [Pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008]
Tempat Penyelenggaraan Mediasi
Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau ditempat lain yang disepakati oleh para pihak. Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan. Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya. [Pasal 20 Perma No. 1 Tahun 2008]
Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan. Pengajuan gugatannya harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.
Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi.
e. dengan iktikad baik. [Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008]
Perdamaian Di Tingkat Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali
Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. [Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008]

Minggu, 08 September 2013

Hukum Waris

3 unsur pokok dalam waris, yaitu:[1]
1.       Adanya harta peninggalan (kekayaan) pewaris yang disebut warisan
2.       Adanya pewaris, yaitu orang yang menguasai atau memiliki harta warisan yang mengalihkan atau meneruskannya
3.       Adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan (penerusan) atau pembagian harta warisan itu.
Menurut hukum kewarisan Islam (hukum Faraidh), pengertian hukum waris menurut istilah bahasa ialah takdir (qadar / ketentuan) dan pada Sya’ra adalah bagian-bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli wais yang telah ditentukan besar kecilnya oleh sya’ra.
Ditinjau dari Hukum Adat, pengertian hukum waris adalah: “Aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad kea bad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak tidak berwujud dari generasi pada generasi.
Orang yang tidak sah mendapat warisan (onwaardig)
Dalam Bugerlijk wetboek dalam a. pasal 838, 839, 840 untuk ahli waris tanpa testament, dan b. 912 untuk ahli waris secara testament.[2]
Kedua pasal tersebut menyebutkan orang yang tidak pantas menjadi ahli waris.
1.       Apabila ia dihukum oleh hakim, karena membunuh si peninggal warisan, jadi harus ada putusan hakim yang menghukumnya,
2.       Apabila ia dengan paksaan menghalangi-halangi si peninggal warisan, membuat, mengubah atau mencabut testament,
3.       Apabila ia menghilangkan, membinasakan atau memalsukan testament dari si peninggal warisan.
Dari tiga hal diatas, ahli waris tanpa testament juga dianggap tidak pantas.
1.       Apabila ia dihukum oleh hakim karena ia mencoba membunuh si peninggal warisan.
2.       Apabila ia oleh hakim dianggap bersalah mendakwa si peninggal warisan secara palsu, bahwa ia melakukan kejahtan yang dapat dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun atau lebih.
Alas an dari perbedaan ini ialah, bahwa kalau setelah seseorang mencoba membunuh si peninggal warisan tetap mengibahkan sesuatu kepada seorang itu, maka si peninggal warisan dapat dianggap memberi ampun kepada orang itu.
Menurut Jyunboll, hukum Islam mengenal tiga macam ahli waris yang tidak pantas, yaitu:[3]
1.       Yang mengakibatkan wafatnya si peninggal warisan,
2.       Yang murtad, yaitu yang meninggalkan Agama Islam dan masuk ke agama lain,
3.       Yang sejak semula tidak menganut agama Islam



[1] Dr. Elfrida R Gultom, SH.MH., Hukum Waris Adat di Indonesia. (Jakarta: Literata) 2010. Hlm. 13-14
[2] Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., HUKUM WARISAN DI INDONESIA. (Bandung: Sumur Bandung). 1980. Cet. Ke-6. Hlm. 114
[3] Ibid. hlm. 115

Hukum Administrasi Negara - Badan Pengawasan

BAB I
PENDAHULUAN

            Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri.










BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Pengawasan
Pengawasan merupakan proses kegiatan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijakan, instruksi dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Pengawasan berfungsi untuk mencegah secara dini kemungkinan terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas organisasi.
Pengawasan yang dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah yang bertingkat lebih tinggi terhadap badan-badan yang lebih rendah. Untuk pengawasan dapat dikemukakan alas an-alasan berikut:[1]
-       Koordinasi  : mencegah atau mencari penyelesaian konflik / perselisihan kepentingan misalnya di antara kotapraja-kotapraja.
-       Pengawasan kebijakan : disesuaikannya kebijakan dari aparat pemerintah yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi
-       Pengawasan kualitas: kontrol atas kebolehan dan kualitas teknis pengambilan keputusan dan tindakan-tindakan aparat pemeintah yang lebih rendah.
-       Alasan-alasan keuangan : peningakatan kebijaksanaan yang tepat dan seimbang dari aparat pemerintah yang lebih rendah.
-       Perlindungan hak dan kepentingan warga : dalam situasi tertentu mungkin diperlukan suatu perlindungan khusus untuk kepentingan dari seorang warga.

B.       Bentuk-Bentuk Pengawasan
Ada beberapa bentuk pengawasan dan kontrol:[2]
1.    Pengawasan represif, yaitu pengawasan yang dilakukan kemudian
Keputusan-keputusan badan-badan yang bertingkat lebih rendah akan dicabut kemudian apabila bertentangan dengan undang-undang atau kepentingan umum. Dalam situasi yang menuntut tindakan cepat, dapat juga diambil tindakan penangguhan keputusan, sebelum dilakukan pencabutan.
2.    Pengawasan preventif yaitu pengawasan yang dilakukan sebelumnya
Yang dinamakan pengawasan preventif adalah pengawasan terhadap keputusan-keputusan dari aparat pemerintah yang lebih rendah yang dilakukan sebelumnya. Surat-surat keputusan aparat pemerintah yang lebih rendah umpamanya baru mempunyai kekuatan hukum dari sebuah badan yang lebih rendah yang baru diambil jika sebelumnya telah mendapat surat pernyataan tidak berkeberatan atau surat kuasa dari badan yang lebih tinggi.
3.    Pengawasan yang positif
Yang termasuk dalam bentuk pengawasan ini adalah keputusan-keputusan badan-badan yang lebih tinggi untuk memberikan pengarahan dan petunjuk-petunjuk kepada badan-badan yang lebih rendah. Kadang-kadang juga terjadi badan-badan yang lebih tinggi kadang-kadang memaksakan instansi yang lebih rendah untuk kerjasama tertentu.
4.    Kewajiban untuk memberitahu
Kadang-kadang beberapa keputusan baru boleh diambil oleh badan yang lebih rendah setelah mengadakan perundingan dengan badan-badan yang lebih tinggi, atau badan-badan yang lebih tinggi itu memperoleh kesempatan sebelumnya untuk memberikan nasehat-nasehat pada badan-badan lebih rendah mengenai satu persoalan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            
5.    Konsultasi dan perundingan
Kadang-kadang beberapa keputusan baru boleh diambil oleh badan-badan yang lebih rendah setelah mengadakan perundingan dengan badan-badan yang lebih tinggi, atau badan-badan itu memperoleh kesempatan sebelumnya untuk memberikan nasehat-nasehat pada badan-badan lebih rendah mengenai suatu persoalan.
6.    Hak banding administratif
Bentuk pengawasan yang terakhir sebagian juga terletak pada bidang-bidang perlindungan hukum administrasi. Ada kalanya terhadap keputusan-keputusan badan yang lebih rendah dapat diajukan banding oleh mereka yang mempunyai hak banding tertentu (seperti warga Negara, pejabat pemerintah dan badan-badan pemerintah lainnya) pada suatu badan umum yang lebih tinggi. Suatu putusan banding sekaligus mencakup suatu uji kebijaksanaan oleh badan yang lebih tinggi itu.
Di samping bentuk-bentuk pengawasan yang disebutkan di atas ada juga alat-alat yang lain yang dapat dipakai oleh badan yang lebih rendah dalam memberikan pengarahan kepada badan-badan yang lebih rendah.
7.    Dinas-dinas pemerintah yang didekonsentrasi
Dinas-dinas jabatan dari pemerintah pusat seringkali tersebar di seluruh negeri antara lain kepada badan-badan pemerintah yang lebih rendah untuk mengadakan kontrol, memberikan nasehat dan sebagainya.
8.    Keuangan
Kadangkala dalam hal keuangan badan-badan pemerintah yang lebih rendah terkait pada badan yang lebih tinggi. Untuk pemasukan mereka terkait pada dana dari pemerintah pusat, sehingga dengan itu pemerintah pusat dapat mempengaruhi kebijaksanaan, mereka melalui macam ketentuan dan persyaratan.
9.    Perencanaan
Seringkali badan-badan pemerintah yang lebih rendah berkewajiban untuk membuat rencana yang menguraikan tujuan-tujuan kebijaksanaan mereka, menguraikan kegiatan-kegiatan yang merka akan laksanaka dan sarana-saran apa yang mereka butuhkan untuk itu. Suatu rencana bukan hanya suatu alat bantu bagi pelaksanaan kebijaksanaan badan-badan itu sendiri, tetapi juga suatu pegangan untuk bertindak bagi badan-badan lebih tinggi, apakah dalam bentuk pengawasan, pemberian dana, dan sebagainya.
10.              Pengangkatan untuk pemerintah pusat
Perlu juga diingatkan bahwa kemungkinan yang paling akhir dari bentuk pengarahan ini adalah pengaruh dari pemerintah pusat terhadap kebijaksanaan badan-badan yang lebih rendah, dengan mengangkat para pejabat Negara pada posisi dalam yang lebih rendah. Di negeri Belanda umpamanya seorang Walikota (Ketua Dewan Kotapraja dan pelaksana harian) diangkat oleh Pemerintah Pusat.

            Pengawasan dan bentuk-bentuk melakukan pengaruh lainnya oleh badan-badan lebih tinggi terhadap badan-badan yang lebih rendah mencakup pelaksanaan kekuasaan. Sama halnya dengan pelaksanaan kekuasaan terhadap warga masyarakat, dapat diajukan pertanyaan sampai tingkat manakah dibatasi kebebasan badan-badan tingkat tinggi dalam melakukan kebijaksanaan mereka terhadap badan yang lebih rendah.
Aturan-aturan dan asas-asas yang harus dipenuhi bagi pelaksanaan pengawasan diantaranya terdapat:[3]
-       Asas legalitas, yaitu pelaksanaan pengawasan harus berdasarkan suatu kewwnangan menurut undang-undang.
-       Asas pengawasan terbatas, yaitu pengawasan yang dibatasi pada sasaran-sasaran yang telah dijadikan pedoman pada waktu kewenangan itu diberikan.
-       Asas motivasi, yaitu bahwa alas an-alasan untuk melaksanakan pengawasan harus dapat mendukung keputusan yang diambil berdasarkan pengawasan tadi dan keputusan itu harus dimotivasi kepada masyarakat luas.
-       Beberapa asas tentang produser seperti asas kecermatan
-       Asas kepercayaan.
Dalam fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif, terdapat empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (ii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
fungsi-fungsi kontrol atau pengawasan oleh parlemen sebagai berikut:[4]
1.) Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);
2.) Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
3.) Pengawasan terhadap penganggaran dan pembelanjaan Negara (control of budgeting)
4.) Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja Negara (control of budget implementations);
5.) Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances);
6.) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials).

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)
            Dalam tata tertib anggota DPR Republik Indonesia dijelaskan dalam Bab VIII tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan bahwa:[5]
Pasal 159
1.      DPR mempunyai fungsi pengawasan.
2.      Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a.       pelaksanaan undang-undang;
b.      pelaksanaan keuangan negara; dan
c.       kebijakan Pemerintah.
Pasal 160
1.      Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (2) dilaksanakan melalui pelaksanaan hak DPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab IX tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak DPR.
2.      Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelaksanaan tugas pengawasan komisi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab V tentang Alat Kelengkapan.
3.      Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (2) huruf b dapat dilakukan melalui:
1.      pembahasan laporan keuangan Pemerintah Pusat yang telah diaudit oleh BPK;
2.      hasil pemeriksaan semester BPK;
3.      tindak lanjut hasil pemeriksaan semester BPK;
4.      hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu oleh BPK;
5.      hasil pengawasan DPD; dan/atau
6.      pengaduan masyarakat.
4.      Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (2) dapat dilaksanakan melalui pembentukan tim sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab V tentang Alat Kelengkapan.
5.      Dalam melaksanakan pengawasan, DPR dapat melakukan konsultasi dengan lembaga Negara lain sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab XV tentang Konsultasi dan Koordinasi Sesama Lembaga Negara.
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
            Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (Senate atau upperhouse) dimaksudkan agar mekanisme check and balances dapat berjalan relatif seimbang, terutama yang berkaitan dengan kebijakan di pusat dan kebijakan di daerah. Menurut Ramlan Surbakti, beberapa pertimbangan Indonesia membentuk DPD: pertama, distribusi penduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampau besar terkonsentrasi di Pulau jawa; kedua, sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materiil yang sangat kuat yakni adanya pluralism daerah otonom seperti daerah istimewa dan daerah khusus.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan (kontrol) atas:
a.       Pelaksanaan Undang-Undang mengenai:[6]
·         Otonomi daerah;
·         Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
·         Hubungan pusat dan daerah;
·         Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
·         Pelaksanaan anggaran dan belanja Negara;
·         Pajak;
·         Pendidikan, dan
·         Agama; serta
b.      Menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
MAHKAMAH AGUNG (MA)
Badan Pengawasan  mempunyai tugas membantu sekertaris mahkamah agung dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dilingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut Badan Pengawasan menyelenggarakan fungsi :[7]
1.      Penyiapan perumusan kebijakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dilingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan
2.      Pelaksanaan Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
3.      Pelaksanaan administrasi Badan Pengawasan.

KOMISI YUDISIAL (KY)
            Pasal 28B UUD 1945 memuat empat ayat, yaitu (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pegetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anngota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR; dan (4) susuanan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.
            Dengan adanya Komisi Yudisial ini sebagai salah satu lembaga Negara yang bersifat penunjang (auxiliary organ) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman, diharapkan bahwa infrastruktur sistem etika perilaku di semua sektor dan lapisan suprastruktur Negara Indonesia dan ditumbuh-kembangkan sebagaimana mestinya dalam rangka mewujudkan gagasan Negara hukum dan prinsip ‘good governance’ di semua bidang.[8]
            Kedudukan Komisi Yudisial ini dapat dikatakan sangat penting. Secara struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman, tetapi tidak menjalankan fungsi norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan dengan soal kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.
            Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, “Komisi Yudisial merupakan lembaga yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnua”. Artinya, Komisi Yudisial sendiri juga bersifat independen yang bebas dan harus dibebaskan dari intervensi dan pengaruh cabang-cabang kekuasaan ataupun lembaga-lembaga Negara lainnya.
            Meskipun demikian, dengan sifat independen tersebut tidak berarti Komisi Yudisial tidak diharuskan bertanggung jawab oleh Undang-Undang. Dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004, ditentukan:
(1)   Komisi yudisial berangggung jawab kepada publik melalui Dewan Perwakilan Rakyat;
(2)   Pertanggungjawaban kepada publik sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a.      Menerbitkan laporan tahunan, dan
b.      Membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
(3)   Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a setidaknya memuat hal-hal sebagai berikut:
a.      Laporan penggunaan anggaran;
b.      Data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan
c.       Data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung.
(4)   Laporan sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada Presiden.
(5)   Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang.
Dalam melaksanakan pengawasan sebaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
a.      Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b.      Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c.       Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d.      Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melangggar kode etik perilaku hakim; dan
e.       Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial wajib:
a.      Menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b.      Menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)
            Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga Negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah. Dengan kata lain, bahwa eksistensi BPK bukan bersifat formalitas semata tetapi merupakan lembaga yang diharapkan berfungsi sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945.[9]
            Tugas dan wewenang BPK memiliki posisi strategis karena menyangkut semua aspek yang berkaitan dengan sumber dan penggunaan anggaran dan keuangan Negara, yaitu:
a.       Memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada DPR, DPD, dan DPRD;
b.      Memeriksa semua pelaksanaan APBN; dan
c.       Memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan Negara.
Sehubungan dengan penunaian tugasnya BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, badan/instansi pemerintah atau badan swasta, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Siragih, menyimpulkan tugas pokok BPK menjadi tiga macam fungsi, yaitu:
a.       Fungsi operatif, yaitu melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan Negara.
b.      Fungsi yudikatif, yaitu melakukan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan pegawai negeri bukan bendaharawan yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, menimbulkan kerugian besar bagi Negara.
c.       Fungsi rekomendatif, yaitu memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang pengurusan keuangan Negara.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, maka BPK berwenang antara lain:
a.       Meminta, memeriksa, meneliti pertanggung jawaban atas penguasaan dan pengurusan keuangan serta mengusahakan keseragaman baik dalam tata cara pemeriksaan dan pengawasan maupun dalam penatausahaan keuangan Negara.
b.      Mengadakan dan menetapkan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi.
c.       Melakukan penelitian penganalisis terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan.



BAB III
KESIMPULAN
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Pengawasan dalam pemerintahan terdapat di beberapa lembaga Negara yang secara keberadaannya sudah terdapat di dalam Undang-Undang. Pengawasan ini dilakukan agar terdapat check and balances antara satu institusi dengan institusi yang lain. Badan-badan pengawasan pemerintahan di Indonesia diantaranya adalah
1)      DPR mengawasi
a.       pelaksanaan undang-undang;
b.      pelaksanaan keuangan negara; dan
c.       kebijakan Pemerintah.
2)      Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan (kontrol) atas:
Pelaksanaan Undang-Undang mengenai:
·         Otonomi daerah;
·         Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
·         Hubungan pusat dan daerah;
·         Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
·         Pelaksanaan anggaran dan belanja Negara;
·         Pajak;
·         Pendidikan, dan
·         Agama; serta
3)      Mahkamah Agung
a.       Pelaksanaan Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
b.      Pelaksanaan administrasi Badan Pengawasan.
4)      Komisi Yudisial mengawasi terhadap hakim-hakim yang bertugas di tingkat pengadilan
5)      Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa terhadap pengelolaan keuangan Negara baik dalam APBN maupun dalam APBD




DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimly. Perkembangan & konsolidasi Lembaga Negara Pasca Revormasi. 2012. (Jakarta : Sinar Grafika).
Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. 2002. (Yogyakarta:UGM Press).
http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-8
Tutik, Titik Triwulan. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. 2011. (Jakarta: Kencana).




[1] Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. (Yogyakarta:UGM Press). 2002 Cet. Ke-8. Hal 74
[2] Ibid. hal 75-77
[3] Ibid. hal 77-79
[4] http://fsqcairo.blogspot.com/2011/04/teori-pemisahan-kekuasaan-dan.html
[5] http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-8
[6] Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., Perkembangan&konsolidasi Lembaga Negara Pasca Revormasi. (Jakarta : Sinar Grafika) 2012. Cet. Kedua. Hal 120
[7] http://badanpengawasan.net/index.php?option=com_content&view=article&id=3&Itemid=4
[8] Op. Cit, hal. 159
[9] Dr. Titik Triwulan Tutik, S.H.,M. H. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. (Jakarta: Kencana) 2011. Hlm.105