Minggu, 08 September 2013

Hukum Administrasi Negara - Badan Pengawasan

BAB I
PENDAHULUAN

            Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri.










BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Pengawasan
Pengawasan merupakan proses kegiatan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijakan, instruksi dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Pengawasan berfungsi untuk mencegah secara dini kemungkinan terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas organisasi.
Pengawasan yang dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah yang bertingkat lebih tinggi terhadap badan-badan yang lebih rendah. Untuk pengawasan dapat dikemukakan alas an-alasan berikut:[1]
-       Koordinasi  : mencegah atau mencari penyelesaian konflik / perselisihan kepentingan misalnya di antara kotapraja-kotapraja.
-       Pengawasan kebijakan : disesuaikannya kebijakan dari aparat pemerintah yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi
-       Pengawasan kualitas: kontrol atas kebolehan dan kualitas teknis pengambilan keputusan dan tindakan-tindakan aparat pemeintah yang lebih rendah.
-       Alasan-alasan keuangan : peningakatan kebijaksanaan yang tepat dan seimbang dari aparat pemerintah yang lebih rendah.
-       Perlindungan hak dan kepentingan warga : dalam situasi tertentu mungkin diperlukan suatu perlindungan khusus untuk kepentingan dari seorang warga.

B.       Bentuk-Bentuk Pengawasan
Ada beberapa bentuk pengawasan dan kontrol:[2]
1.    Pengawasan represif, yaitu pengawasan yang dilakukan kemudian
Keputusan-keputusan badan-badan yang bertingkat lebih rendah akan dicabut kemudian apabila bertentangan dengan undang-undang atau kepentingan umum. Dalam situasi yang menuntut tindakan cepat, dapat juga diambil tindakan penangguhan keputusan, sebelum dilakukan pencabutan.
2.    Pengawasan preventif yaitu pengawasan yang dilakukan sebelumnya
Yang dinamakan pengawasan preventif adalah pengawasan terhadap keputusan-keputusan dari aparat pemerintah yang lebih rendah yang dilakukan sebelumnya. Surat-surat keputusan aparat pemerintah yang lebih rendah umpamanya baru mempunyai kekuatan hukum dari sebuah badan yang lebih rendah yang baru diambil jika sebelumnya telah mendapat surat pernyataan tidak berkeberatan atau surat kuasa dari badan yang lebih tinggi.
3.    Pengawasan yang positif
Yang termasuk dalam bentuk pengawasan ini adalah keputusan-keputusan badan-badan yang lebih tinggi untuk memberikan pengarahan dan petunjuk-petunjuk kepada badan-badan yang lebih rendah. Kadang-kadang juga terjadi badan-badan yang lebih tinggi kadang-kadang memaksakan instansi yang lebih rendah untuk kerjasama tertentu.
4.    Kewajiban untuk memberitahu
Kadang-kadang beberapa keputusan baru boleh diambil oleh badan yang lebih rendah setelah mengadakan perundingan dengan badan-badan yang lebih tinggi, atau badan-badan yang lebih tinggi itu memperoleh kesempatan sebelumnya untuk memberikan nasehat-nasehat pada badan-badan lebih rendah mengenai satu persoalan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            
5.    Konsultasi dan perundingan
Kadang-kadang beberapa keputusan baru boleh diambil oleh badan-badan yang lebih rendah setelah mengadakan perundingan dengan badan-badan yang lebih tinggi, atau badan-badan itu memperoleh kesempatan sebelumnya untuk memberikan nasehat-nasehat pada badan-badan lebih rendah mengenai suatu persoalan.
6.    Hak banding administratif
Bentuk pengawasan yang terakhir sebagian juga terletak pada bidang-bidang perlindungan hukum administrasi. Ada kalanya terhadap keputusan-keputusan badan yang lebih rendah dapat diajukan banding oleh mereka yang mempunyai hak banding tertentu (seperti warga Negara, pejabat pemerintah dan badan-badan pemerintah lainnya) pada suatu badan umum yang lebih tinggi. Suatu putusan banding sekaligus mencakup suatu uji kebijaksanaan oleh badan yang lebih tinggi itu.
Di samping bentuk-bentuk pengawasan yang disebutkan di atas ada juga alat-alat yang lain yang dapat dipakai oleh badan yang lebih rendah dalam memberikan pengarahan kepada badan-badan yang lebih rendah.
7.    Dinas-dinas pemerintah yang didekonsentrasi
Dinas-dinas jabatan dari pemerintah pusat seringkali tersebar di seluruh negeri antara lain kepada badan-badan pemerintah yang lebih rendah untuk mengadakan kontrol, memberikan nasehat dan sebagainya.
8.    Keuangan
Kadangkala dalam hal keuangan badan-badan pemerintah yang lebih rendah terkait pada badan yang lebih tinggi. Untuk pemasukan mereka terkait pada dana dari pemerintah pusat, sehingga dengan itu pemerintah pusat dapat mempengaruhi kebijaksanaan, mereka melalui macam ketentuan dan persyaratan.
9.    Perencanaan
Seringkali badan-badan pemerintah yang lebih rendah berkewajiban untuk membuat rencana yang menguraikan tujuan-tujuan kebijaksanaan mereka, menguraikan kegiatan-kegiatan yang merka akan laksanaka dan sarana-saran apa yang mereka butuhkan untuk itu. Suatu rencana bukan hanya suatu alat bantu bagi pelaksanaan kebijaksanaan badan-badan itu sendiri, tetapi juga suatu pegangan untuk bertindak bagi badan-badan lebih tinggi, apakah dalam bentuk pengawasan, pemberian dana, dan sebagainya.
10.              Pengangkatan untuk pemerintah pusat
Perlu juga diingatkan bahwa kemungkinan yang paling akhir dari bentuk pengarahan ini adalah pengaruh dari pemerintah pusat terhadap kebijaksanaan badan-badan yang lebih rendah, dengan mengangkat para pejabat Negara pada posisi dalam yang lebih rendah. Di negeri Belanda umpamanya seorang Walikota (Ketua Dewan Kotapraja dan pelaksana harian) diangkat oleh Pemerintah Pusat.

            Pengawasan dan bentuk-bentuk melakukan pengaruh lainnya oleh badan-badan lebih tinggi terhadap badan-badan yang lebih rendah mencakup pelaksanaan kekuasaan. Sama halnya dengan pelaksanaan kekuasaan terhadap warga masyarakat, dapat diajukan pertanyaan sampai tingkat manakah dibatasi kebebasan badan-badan tingkat tinggi dalam melakukan kebijaksanaan mereka terhadap badan yang lebih rendah.
Aturan-aturan dan asas-asas yang harus dipenuhi bagi pelaksanaan pengawasan diantaranya terdapat:[3]
-       Asas legalitas, yaitu pelaksanaan pengawasan harus berdasarkan suatu kewwnangan menurut undang-undang.
-       Asas pengawasan terbatas, yaitu pengawasan yang dibatasi pada sasaran-sasaran yang telah dijadikan pedoman pada waktu kewenangan itu diberikan.
-       Asas motivasi, yaitu bahwa alas an-alasan untuk melaksanakan pengawasan harus dapat mendukung keputusan yang diambil berdasarkan pengawasan tadi dan keputusan itu harus dimotivasi kepada masyarakat luas.
-       Beberapa asas tentang produser seperti asas kecermatan
-       Asas kepercayaan.
Dalam fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif, terdapat empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (ii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
fungsi-fungsi kontrol atau pengawasan oleh parlemen sebagai berikut:[4]
1.) Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);
2.) Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
3.) Pengawasan terhadap penganggaran dan pembelanjaan Negara (control of budgeting)
4.) Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja Negara (control of budget implementations);
5.) Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances);
6.) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials).

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)
            Dalam tata tertib anggota DPR Republik Indonesia dijelaskan dalam Bab VIII tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan bahwa:[5]
Pasal 159
1.      DPR mempunyai fungsi pengawasan.
2.      Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a.       pelaksanaan undang-undang;
b.      pelaksanaan keuangan negara; dan
c.       kebijakan Pemerintah.
Pasal 160
1.      Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (2) dilaksanakan melalui pelaksanaan hak DPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab IX tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak DPR.
2.      Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelaksanaan tugas pengawasan komisi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab V tentang Alat Kelengkapan.
3.      Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (2) huruf b dapat dilakukan melalui:
1.      pembahasan laporan keuangan Pemerintah Pusat yang telah diaudit oleh BPK;
2.      hasil pemeriksaan semester BPK;
3.      tindak lanjut hasil pemeriksaan semester BPK;
4.      hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu oleh BPK;
5.      hasil pengawasan DPD; dan/atau
6.      pengaduan masyarakat.
4.      Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (2) dapat dilaksanakan melalui pembentukan tim sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab V tentang Alat Kelengkapan.
5.      Dalam melaksanakan pengawasan, DPR dapat melakukan konsultasi dengan lembaga Negara lain sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab XV tentang Konsultasi dan Koordinasi Sesama Lembaga Negara.
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
            Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (Senate atau upperhouse) dimaksudkan agar mekanisme check and balances dapat berjalan relatif seimbang, terutama yang berkaitan dengan kebijakan di pusat dan kebijakan di daerah. Menurut Ramlan Surbakti, beberapa pertimbangan Indonesia membentuk DPD: pertama, distribusi penduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampau besar terkonsentrasi di Pulau jawa; kedua, sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materiil yang sangat kuat yakni adanya pluralism daerah otonom seperti daerah istimewa dan daerah khusus.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan (kontrol) atas:
a.       Pelaksanaan Undang-Undang mengenai:[6]
·         Otonomi daerah;
·         Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
·         Hubungan pusat dan daerah;
·         Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
·         Pelaksanaan anggaran dan belanja Negara;
·         Pajak;
·         Pendidikan, dan
·         Agama; serta
b.      Menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
MAHKAMAH AGUNG (MA)
Badan Pengawasan  mempunyai tugas membantu sekertaris mahkamah agung dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dilingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut Badan Pengawasan menyelenggarakan fungsi :[7]
1.      Penyiapan perumusan kebijakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dilingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan
2.      Pelaksanaan Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
3.      Pelaksanaan administrasi Badan Pengawasan.

KOMISI YUDISIAL (KY)
            Pasal 28B UUD 1945 memuat empat ayat, yaitu (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pegetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anngota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR; dan (4) susuanan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.
            Dengan adanya Komisi Yudisial ini sebagai salah satu lembaga Negara yang bersifat penunjang (auxiliary organ) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman, diharapkan bahwa infrastruktur sistem etika perilaku di semua sektor dan lapisan suprastruktur Negara Indonesia dan ditumbuh-kembangkan sebagaimana mestinya dalam rangka mewujudkan gagasan Negara hukum dan prinsip ‘good governance’ di semua bidang.[8]
            Kedudukan Komisi Yudisial ini dapat dikatakan sangat penting. Secara struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman, tetapi tidak menjalankan fungsi norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan dengan soal kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.
            Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, “Komisi Yudisial merupakan lembaga yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnua”. Artinya, Komisi Yudisial sendiri juga bersifat independen yang bebas dan harus dibebaskan dari intervensi dan pengaruh cabang-cabang kekuasaan ataupun lembaga-lembaga Negara lainnya.
            Meskipun demikian, dengan sifat independen tersebut tidak berarti Komisi Yudisial tidak diharuskan bertanggung jawab oleh Undang-Undang. Dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004, ditentukan:
(1)   Komisi yudisial berangggung jawab kepada publik melalui Dewan Perwakilan Rakyat;
(2)   Pertanggungjawaban kepada publik sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a.      Menerbitkan laporan tahunan, dan
b.      Membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
(3)   Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a setidaknya memuat hal-hal sebagai berikut:
a.      Laporan penggunaan anggaran;
b.      Data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan
c.       Data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung.
(4)   Laporan sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada Presiden.
(5)   Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang.
Dalam melaksanakan pengawasan sebaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
a.      Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b.      Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c.       Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d.      Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melangggar kode etik perilaku hakim; dan
e.       Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial wajib:
a.      Menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b.      Menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)
            Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga Negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah. Dengan kata lain, bahwa eksistensi BPK bukan bersifat formalitas semata tetapi merupakan lembaga yang diharapkan berfungsi sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945.[9]
            Tugas dan wewenang BPK memiliki posisi strategis karena menyangkut semua aspek yang berkaitan dengan sumber dan penggunaan anggaran dan keuangan Negara, yaitu:
a.       Memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada DPR, DPD, dan DPRD;
b.      Memeriksa semua pelaksanaan APBN; dan
c.       Memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan Negara.
Sehubungan dengan penunaian tugasnya BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, badan/instansi pemerintah atau badan swasta, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Siragih, menyimpulkan tugas pokok BPK menjadi tiga macam fungsi, yaitu:
a.       Fungsi operatif, yaitu melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan Negara.
b.      Fungsi yudikatif, yaitu melakukan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan pegawai negeri bukan bendaharawan yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, menimbulkan kerugian besar bagi Negara.
c.       Fungsi rekomendatif, yaitu memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang pengurusan keuangan Negara.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, maka BPK berwenang antara lain:
a.       Meminta, memeriksa, meneliti pertanggung jawaban atas penguasaan dan pengurusan keuangan serta mengusahakan keseragaman baik dalam tata cara pemeriksaan dan pengawasan maupun dalam penatausahaan keuangan Negara.
b.      Mengadakan dan menetapkan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi.
c.       Melakukan penelitian penganalisis terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan.



BAB III
KESIMPULAN
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Pengawasan dalam pemerintahan terdapat di beberapa lembaga Negara yang secara keberadaannya sudah terdapat di dalam Undang-Undang. Pengawasan ini dilakukan agar terdapat check and balances antara satu institusi dengan institusi yang lain. Badan-badan pengawasan pemerintahan di Indonesia diantaranya adalah
1)      DPR mengawasi
a.       pelaksanaan undang-undang;
b.      pelaksanaan keuangan negara; dan
c.       kebijakan Pemerintah.
2)      Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan (kontrol) atas:
Pelaksanaan Undang-Undang mengenai:
·         Otonomi daerah;
·         Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
·         Hubungan pusat dan daerah;
·         Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
·         Pelaksanaan anggaran dan belanja Negara;
·         Pajak;
·         Pendidikan, dan
·         Agama; serta
3)      Mahkamah Agung
a.       Pelaksanaan Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
b.      Pelaksanaan administrasi Badan Pengawasan.
4)      Komisi Yudisial mengawasi terhadap hakim-hakim yang bertugas di tingkat pengadilan
5)      Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa terhadap pengelolaan keuangan Negara baik dalam APBN maupun dalam APBD




DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimly. Perkembangan & konsolidasi Lembaga Negara Pasca Revormasi. 2012. (Jakarta : Sinar Grafika).
Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. 2002. (Yogyakarta:UGM Press).
http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-8
Tutik, Titik Triwulan. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. 2011. (Jakarta: Kencana).




[1] Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. (Yogyakarta:UGM Press). 2002 Cet. Ke-8. Hal 74
[2] Ibid. hal 75-77
[3] Ibid. hal 77-79
[4] http://fsqcairo.blogspot.com/2011/04/teori-pemisahan-kekuasaan-dan.html
[5] http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-8
[6] Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., Perkembangan&konsolidasi Lembaga Negara Pasca Revormasi. (Jakarta : Sinar Grafika) 2012. Cet. Kedua. Hal 120
[7] http://badanpengawasan.net/index.php?option=com_content&view=article&id=3&Itemid=4
[8] Op. Cit, hal. 159
[9] Dr. Titik Triwulan Tutik, S.H.,M. H. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. (Jakarta: Kencana) 2011. Hlm.105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar