BAB
I
PENDAHULUAN
Pengawasan
pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan
penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui
pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah
ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan
efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan
erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah
dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan
dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan
kerja tersebut.
Hasil
pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan
ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks
membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance
(tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk
menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini,
pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu
sendiri.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pengawasan
Pengawasan
merupakan proses kegiatan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan
sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik
sesuai dengan rencana, kebijakan, instruksi dan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan. Pengawasan berfungsi untuk mencegah secara dini kemungkinan
terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan
kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas
organisasi.
Pengawasan
yang dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah yang bertingkat lebih tinggi
terhadap badan-badan yang lebih rendah. Untuk pengawasan dapat dikemukakan alas
an-alasan berikut:[1]
-
Koordinasi : mencegah atau mencari penyelesaian konflik /
perselisihan kepentingan misalnya di antara kotapraja-kotapraja.
-
Pengawasan
kebijakan : disesuaikannya kebijakan dari aparat pemerintah yang lebih rendah
terhadap yang lebih tinggi
-
Pengawasan
kualitas: kontrol atas kebolehan dan kualitas teknis pengambilan keputusan dan
tindakan-tindakan aparat pemeintah yang lebih rendah.
-
Alasan-alasan
keuangan : peningakatan kebijaksanaan yang tepat dan seimbang dari aparat
pemerintah yang lebih rendah.
-
Perlindungan
hak dan kepentingan warga : dalam situasi tertentu mungkin diperlukan suatu
perlindungan khusus untuk kepentingan dari seorang warga.
B. Bentuk-Bentuk
Pengawasan
Ada
beberapa bentuk pengawasan dan kontrol:[2]
1.
Pengawasan
represif, yaitu pengawasan yang dilakukan kemudian
Keputusan-keputusan
badan-badan yang bertingkat lebih rendah akan dicabut kemudian apabila bertentangan
dengan undang-undang atau kepentingan umum. Dalam situasi yang menuntut
tindakan cepat, dapat juga diambil tindakan penangguhan keputusan, sebelum
dilakukan pencabutan.
2.
Pengawasan
preventif yaitu pengawasan yang dilakukan sebelumnya
Yang
dinamakan pengawasan preventif adalah pengawasan terhadap keputusan-keputusan
dari aparat pemerintah yang lebih rendah yang dilakukan sebelumnya. Surat-surat
keputusan aparat pemerintah yang lebih rendah umpamanya baru mempunyai kekuatan
hukum dari sebuah badan yang lebih rendah yang baru diambil jika sebelumnya
telah mendapat surat pernyataan tidak berkeberatan atau surat kuasa dari badan
yang lebih tinggi.
3.
Pengawasan
yang positif
Yang
termasuk dalam bentuk pengawasan ini adalah keputusan-keputusan badan-badan
yang lebih tinggi untuk memberikan pengarahan dan petunjuk-petunjuk kepada
badan-badan yang lebih rendah. Kadang-kadang juga terjadi badan-badan yang
lebih tinggi kadang-kadang memaksakan instansi yang lebih rendah untuk
kerjasama tertentu.
4.
Kewajiban
untuk memberitahu
Kadang-kadang
beberapa keputusan baru boleh diambil oleh badan yang lebih rendah setelah
mengadakan perundingan dengan badan-badan yang lebih tinggi, atau badan-badan
yang lebih tinggi itu memperoleh kesempatan sebelumnya untuk memberikan
nasehat-nasehat pada badan-badan lebih rendah mengenai satu persoalan.
5.
Konsultasi
dan perundingan
Kadang-kadang
beberapa keputusan baru boleh diambil oleh badan-badan yang lebih rendah
setelah mengadakan perundingan dengan badan-badan yang lebih tinggi, atau
badan-badan itu memperoleh kesempatan sebelumnya untuk memberikan nasehat-nasehat
pada badan-badan lebih rendah mengenai suatu persoalan.
6.
Hak
banding administratif
Bentuk
pengawasan yang terakhir sebagian juga terletak pada bidang-bidang perlindungan
hukum administrasi. Ada kalanya terhadap keputusan-keputusan badan yang lebih
rendah dapat diajukan banding oleh mereka yang mempunyai hak banding tertentu
(seperti warga Negara, pejabat pemerintah dan badan-badan pemerintah lainnya)
pada suatu badan umum yang lebih tinggi. Suatu putusan banding sekaligus
mencakup suatu uji kebijaksanaan oleh badan yang lebih tinggi itu.
Di
samping bentuk-bentuk pengawasan yang disebutkan di atas ada juga alat-alat
yang lain yang dapat dipakai oleh badan yang lebih rendah dalam memberikan
pengarahan kepada badan-badan yang lebih rendah.
7.
Dinas-dinas
pemerintah yang didekonsentrasi
Dinas-dinas
jabatan dari pemerintah pusat seringkali tersebar di seluruh negeri antara lain
kepada badan-badan pemerintah yang lebih rendah untuk mengadakan kontrol,
memberikan nasehat dan sebagainya.
8.
Keuangan
Kadangkala
dalam hal keuangan badan-badan pemerintah yang lebih rendah terkait pada badan
yang lebih tinggi. Untuk pemasukan mereka terkait pada dana dari pemerintah
pusat, sehingga dengan itu pemerintah pusat dapat mempengaruhi kebijaksanaan,
mereka melalui macam ketentuan dan persyaratan.
9.
Perencanaan
Seringkali
badan-badan pemerintah yang lebih rendah berkewajiban untuk membuat rencana
yang menguraikan tujuan-tujuan kebijaksanaan mereka, menguraikan
kegiatan-kegiatan yang merka akan laksanaka dan sarana-saran apa yang mereka
butuhkan untuk itu. Suatu rencana bukan hanya suatu alat bantu bagi pelaksanaan
kebijaksanaan badan-badan itu sendiri, tetapi juga suatu pegangan untuk
bertindak bagi badan-badan lebih tinggi, apakah dalam bentuk pengawasan,
pemberian dana, dan sebagainya.
10.
Pengangkatan
untuk pemerintah pusat
Perlu
juga diingatkan bahwa kemungkinan yang paling akhir dari bentuk pengarahan ini
adalah pengaruh dari pemerintah pusat terhadap kebijaksanaan badan-badan yang
lebih rendah, dengan mengangkat para pejabat Negara pada posisi dalam yang
lebih rendah. Di negeri Belanda umpamanya seorang Walikota (Ketua Dewan
Kotapraja dan pelaksana harian) diangkat oleh Pemerintah Pusat.
Pengawasan dan bentuk-bentuk
melakukan pengaruh lainnya oleh badan-badan lebih tinggi terhadap badan-badan
yang lebih rendah mencakup pelaksanaan kekuasaan. Sama halnya dengan
pelaksanaan kekuasaan terhadap warga masyarakat, dapat diajukan pertanyaan
sampai tingkat manakah dibatasi kebebasan badan-badan tingkat tinggi dalam
melakukan kebijaksanaan mereka terhadap badan yang lebih rendah.
Aturan-aturan
dan asas-asas yang harus dipenuhi bagi pelaksanaan pengawasan diantaranya
terdapat:[3]
-
Asas
legalitas, yaitu pelaksanaan pengawasan harus berdasarkan suatu kewwnangan
menurut undang-undang.
-
Asas
pengawasan terbatas, yaitu pengawasan yang dibatasi pada sasaran-sasaran yang
telah dijadikan pedoman pada waktu kewenangan itu diberikan.
-
Asas
motivasi, yaitu bahwa alas an-alasan untuk melaksanakan pengawasan harus dapat
mendukung keputusan yang diambil berdasarkan pengawasan tadi dan keputusan itu
harus dimotivasi kepada masyarakat luas.
-
Beberapa
asas tentang produser seperti asas kecermatan
-
Asas
kepercayaan.
Dalam
fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif, terdapat empat organ atau lembaga,
yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (ii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
(iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).
fungsi-fungsi
kontrol atau pengawasan oleh parlemen sebagai berikut:[4]
1.)
Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);
2.)
Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
3.)
Pengawasan terhadap penganggaran dan pembelanjaan Negara (control of budgeting)
4.)
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja Negara (control of budget
implementations);
5.)
Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances);
6.)
Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political
appointment of public officials).
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)
Dalam tata tertib anggota DPR
Republik Indonesia dijelaskan dalam Bab VIII tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pengawasan bahwa:[5]
Pasal 159
1.
DPR mempunyai fungsi pengawasan.
2.
Fungsi pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a.
pelaksanaan undang-undang;
b.
pelaksanaan keuangan negara; dan
c.
kebijakan Pemerintah.
Pasal 160
1.
Pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 159 ayat (2) dilaksanakan melalui pelaksanaan hak DPR sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bab IX tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak DPR.
2.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui pelaksanaan tugas pengawasan komisi sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bab V tentang Alat Kelengkapan.
3.
Pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 159 ayat (2) huruf b dapat dilakukan melalui:
1.
pembahasan laporan keuangan
Pemerintah Pusat yang telah diaudit oleh BPK;
2.
hasil pemeriksaan semester BPK;
3.
tindak lanjut hasil pemeriksaan
semester BPK;
4.
hasil pemeriksaan dengan tujuan
tertentu oleh BPK;
5.
hasil pengawasan DPD; dan/atau
6.
pengaduan masyarakat.
4.
Pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 159 ayat (2) dapat dilaksanakan melalui pembentukan tim sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bab V tentang Alat Kelengkapan.
5.
Dalam melaksanakan pengawasan, DPR
dapat melakukan konsultasi dengan lembaga Negara lain sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bab XV tentang Konsultasi dan Koordinasi Sesama Lembaga Negara.
DEWAN
PERWAKILAN DAERAH (DPD)
Pembentukan
Dewan Perwakilan Daerah (Senate atau upperhouse) dimaksudkan agar mekanisme check and balances dapat berjalan
relatif seimbang, terutama yang berkaitan dengan kebijakan di pusat dan
kebijakan di daerah. Menurut Ramlan Surbakti, beberapa pertimbangan Indonesia
membentuk DPD: pertama, distribusi
penduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampau besar
terkonsentrasi di Pulau jawa; kedua,
sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai
basis materiil yang sangat kuat yakni adanya pluralism daerah otonom seperti
daerah istimewa dan daerah khusus.
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan (kontrol) atas:
a.
Pelaksanaan Undang-Undang mengenai:[6]
·
Otonomi daerah;
·
Pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah;
·
Hubungan pusat dan daerah;
·
Pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya;
·
Pelaksanaan anggaran dan belanja
Negara;
·
Pajak;
·
Pendidikan, dan
·
Agama; serta
b.
Menyampaikan hasil pengawasan itu
kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
MAHKAMAH
AGUNG (MA)
Badan
Pengawasan mempunyai tugas membantu
sekertaris mahkamah agung dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas dilingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Dalam melaksanakan tugas pokok
tersebut Badan Pengawasan menyelenggarakan fungsi :[7]
1. Penyiapan
perumusan kebijakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dilingkungan Mahkamah
Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan
2.
Pelaksanaan Pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua
lingkungan Peradilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku;
3.
Pelaksanaan administrasi Badan
Pengawasan.
KOMISI
YUDISIAL (KY)
Pasal
28B UUD 1945 memuat empat ayat, yaitu (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pegetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela; (3) Anngota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan DPR; dan (4) susuanan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi
Yudisial diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.
Dengan
adanya Komisi Yudisial ini sebagai salah satu lembaga Negara yang bersifat
penunjang (auxiliary organ) terhadap
lembaga kekuasaan kehakiman, diharapkan bahwa infrastruktur sistem etika
perilaku di semua sektor dan lapisan suprastruktur Negara Indonesia dan
ditumbuh-kembangkan sebagaimana mestinya dalam rangka mewujudkan gagasan Negara
hukum dan prinsip ‘good governance’
di semua bidang.[8]
Kedudukan
Komisi Yudisial ini dapat dikatakan sangat penting. Secara struktural
kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan
kehakiman, tetapi tidak menjalankan fungsi norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Lagi pula komisi ini
hanya berurusan dengan soal kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim,
bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara
institusional.
Menurut
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, “Komisi Yudisial merupakan lembaga yang
bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan
atau pengaruh kekuasaan lainnua”. Artinya, Komisi Yudisial sendiri juga
bersifat independen yang bebas dan harus dibebaskan dari intervensi dan
pengaruh cabang-cabang kekuasaan ataupun lembaga-lembaga Negara lainnya.
Meskipun
demikian, dengan sifat independen tersebut tidak berarti Komisi Yudisial tidak
diharuskan bertanggung jawab oleh Undang-Undang. Dalam Pasal 38 Undang-Undang
No. 22 Tahun 2004, ditentukan:
(1)
Komisi
yudisial berangggung jawab kepada publik melalui Dewan Perwakilan Rakyat;
(2)
Pertanggungjawaban
kepada publik sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a.
Menerbitkan
laporan tahunan, dan
b.
Membuka
akses informasi secara lengkap dan akurat.
(3)
Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a setidaknya memuat hal-hal sebagai
berikut:
a.
Laporan
penggunaan anggaran;
b.
Data
yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan
c.
Data
yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung.
(4)
Laporan
sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada Presiden.
(5)
Keuangan
Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan
Undang-Undang.
Dalam melaksanakan pengawasan
sebaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
a. Menerima laporan masyarakat tentang
perilaku hakim;
b. Meminta laporan secara berkala
kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c. Melakukan pemeriksaan terhadap
dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d. Memanggil dan meminta keterangan
dari hakim yang diduga melangggar kode etik perilaku hakim; dan
e. Membuat laporan hasil pemeriksaan
yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Dalam melakukan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial wajib:
a. Menaati norma, hukum, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. Menjaga kerahasiaan keterangan yang
karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan
kedudukannya sebagai anggota.
BADAN
PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)
Badan
Pemeriksa Keuangan adalah lembaga Negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Dalam melaksanakan tugasnya
terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di
atas pemerintah. Dengan kata lain, bahwa eksistensi BPK bukan bersifat
formalitas semata tetapi merupakan lembaga yang diharapkan berfungsi
sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945.[9]
Tugas
dan wewenang BPK memiliki posisi strategis karena menyangkut semua aspek yang
berkaitan dengan sumber dan penggunaan anggaran dan keuangan Negara, yaitu:
a. Memeriksa
tanggung jawab tentang keuangan Negara. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan
kepada DPR, DPD, dan DPRD;
b. Memeriksa
semua pelaksanaan APBN; dan
c. Memeriksa
tanggung jawab pemerintah tentang keuangan Negara.
Sehubungan dengan penunaian tugasnya
BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang,
badan/instansi pemerintah atau badan swasta, sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Siragih, menyimpulkan tugas pokok BPK menjadi tiga
macam fungsi, yaitu:
a. Fungsi
operatif, yaitu melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan penelitian atas penguasaan
dan pengurusan keuangan Negara.
b. Fungsi
yudikatif, yaitu melakukan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi
terhadap bendaharawan dan pegawai negeri bukan bendaharawan yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, menimbulkan kerugian
besar bagi Negara.
c. Fungsi
rekomendatif, yaitu memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang pengurusan
keuangan Negara.
Untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya, maka BPK berwenang antara lain:
a. Meminta,
memeriksa, meneliti pertanggung jawaban atas penguasaan dan pengurusan keuangan
serta mengusahakan keseragaman baik dalam tata cara pemeriksaan dan pengawasan
maupun dalam penatausahaan keuangan Negara.
b. Mengadakan
dan menetapkan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi.
c. Melakukan
penelitian penganalisis terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
bidang keuangan.
BAB
III
KESIMPULAN
Pengawasan pada dasarnya diarahkan
sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan
atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu
melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah
direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta
suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai
sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat
mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana
penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Pengawasan dalam pemerintahan
terdapat di beberapa lembaga Negara yang secara keberadaannya sudah terdapat di
dalam Undang-Undang. Pengawasan ini dilakukan agar terdapat check and balances antara satu institusi
dengan institusi yang lain. Badan-badan pengawasan pemerintahan di Indonesia
diantaranya adalah
1) DPR
mengawasi
a.
pelaksanaan undang-undang;
b.
pelaksanaan keuangan negara; dan
c.
kebijakan Pemerintah.
2) Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan (kontrol) atas:
Pelaksanaan Undang-Undang mengenai:
·
Otonomi daerah;
·
Pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah;
·
Hubungan pusat dan daerah;
·
Pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya;
·
Pelaksanaan anggaran dan belanja
Negara;
·
Pajak;
·
Pendidikan, dan
·
Agama; serta
3) Mahkamah
Agung
a. Pelaksanaan
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Mahkamah Agung dan
Pengadilan di semua lingkungan Peradilan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku;
b. Pelaksanaan
administrasi Badan Pengawasan.
4) Komisi
Yudisial mengawasi terhadap hakim-hakim yang bertugas di tingkat pengadilan
5) Badan
Pemeriksa Keuangan memeriksa terhadap pengelolaan keuangan Negara baik dalam
APBN maupun dalam APBD
DAFTAR PUSTAKA
Asshidiqie,
Jimly. Perkembangan & konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Revormasi. 2012. (Jakarta : Sinar Grafika).
Hadjon,
Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia. 2002. (Yogyakarta:UGM Press).
http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-8
Tutik,
Titik Triwulan. Hukum Tata Usaha Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. 2011. (Jakarta:
Kencana).
[1]
Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H., Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia. (Yogyakarta:UGM Press). 2002 Cet. Ke-8. Hal
74
[2] Ibid. hal 75-77
[3] Ibid. hal 77-79
[4] http://fsqcairo.blogspot.com/2011/04/teori-pemisahan-kekuasaan-dan.html
[5] http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-8
[6]
Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., Perkembangan&konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Revormasi. (Jakarta : Sinar Grafika) 2012. Cet. Kedua.
Hal 120
[7] http://badanpengawasan.net/index.php?option=com_content&view=article&id=3&Itemid=4
[8] Op. Cit, hal. 159
[9]
Dr. Titik Triwulan Tutik, S.H.,M. H. Hukum
Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. (Jakarta:
Kencana) 2011. Hlm.105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar