Minggu, 08 September 2013

Pengantar Ilmu Hukum - Sumber Hukum

BAB I
PENDAHULUAN

Sejak dahulu, manusia hidup bersama, berkelompok membentuk masyarakat tertentu, mendiami suatu tempat, dan menghasilkan kebudayaan sesuai dengan keadaan dan tempat tersebut. Manusia secara kodrati adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Tiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak sendiri. Namun dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya. Setiap manusia memiliki kepentingan, dan acap kali kepentingan tersebut berlainan bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. Apabila ketidak-seimbangan perhubungan masyarakat yang menjadi perselisihan itu dibiarkan, maka mungkin akan timbul perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dari pemikiran manusia dalam masyarakat dan makhluk sosial , kelompok manusia menghasilkan suatu kebudayaan yang bernama kaidah atau aturan atau hukum tertentu yang mengatur segala tingkah lakunya agar tidak menyimpang dari hati sanubari manusia.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebudayaan manusia mengalami perkembangan pula. Termasuk perkembangan hukum. Peradaban yang semakin berkembang membuat kehidupan manusia sangat membutuhkan aturan yang dapat membatasi prilaku manusia sendiri yang telah banyak menyimpang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia yang semakin maju.
Aturan atau hukum tersebut mengalami perubahan dan terus mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman. Untuk itu, suatu negara hukum sangat perlu mengadakan pembangunan terutama di bidang hukum. Mengenai pembangunan hukum ini tidaklah mudah dilakukan. Hal ini disebabkan pembangunan hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan tertib hukum yang lain.
Pada umumnya orang untuk mengetahui serta mengenal hukum, maka orang itu akan mencari dari mana sumber yang menimbulkan hukum atau sumber terbentuknya hukum itu sendiri. Hal ini berarti peninjauan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya hukum, dari mana hukum itu dapat diketemukan, dari mana asal mulanya hukum dan lain sebagainya.
Sumber-sumber hukum itu dapat ditinjau dari beberapa sudut. Akibat peninjauan dari beberapa sudut inilah maka arti dari sumber-sumber itu berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, dan tergantung dari sudut mana orang itu meninjaunya. Apakah orang itu meninjau sumber hukum itu dari sudut ilmu hukum, ilmu kemasyarakatan, ilmu ekonomi, ilmu filsafat dan lain sebagainya.
Dengan demikian tepatlah apa yang dikatakan oleh Paton, adalah sebagai berikut: “The term sources of law has many meanings and its frequent cause of error unless we scrutines carefully the particular meaning given to it any particular text.” (Istilah sumber hukum itu mempunyai banyak arti yang sering menimbulkan kesalahan-kesalahan, kecuali kalau diteliti dengan seksama mengenai arti tertentu yang diberikan kepadanya dalam pokok pembicaraan tertentu pula).
Masalah sumber hukum merupakan suatu hal yang perlu dipahami, dianalisis serta ditimbulkan problema-problema dan pemecahannya, sehingga dapat diharapkan memiliki keserasian dengan perkembangan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Dalam lapangan ilmu pengetahuan hukum (law science), terutama pada bagian-bagian yang erat hubungannya dengan pembuatan hukum (law making) dan pelaksanaannya (law enfiroment).
Menurut Bagir Manan, menelaah dan mempelajari sumber hukum memerlukan kehati-hatian karena istilah sumber hukum mengandung berbagai pengertian. Tanpa kehati-hati an dan kecermatan yang mendalam mengenai apa yang dimaksud dengan sumber hukum dan dapat menimbulkan kesesatan. Dari alasan itulah makalah ini disusun.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      Sumber – Sumber Hukum
            A. Arti  tentang sumber hukum
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan – aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan –aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.[1]
Yang dimaksud dengan segala apa saja (sesuatu) yakni faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal, darimana hukum itu dapat ditemukan. dsb.
a)    Pengertian Sumber Hukum menurut pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
Ditetapkan bahwa : (1) Sumber Hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan; (2) Sumber Hukum terdiri atas sumber Hukum tertulis dan tidak tertulis; (3) Sumber Hukum dasar nasional adalah (i) Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan (ii) batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
b)    Pengertian sumber Hukum menurut Hans Kelsen
Sumber Hukum merupakan “General Theorybof Law and State”, istilah sumber Hukum itu (sources of law) dapat mengandung banyak pengertian, karena sifatnya yang figurative and highly ambiguous. Pertama yang lazimnya dipahami sebagai sources of law ada dua macam, yaitu custom and statute. Oleh karena itu, sources of law biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation, yaitu customary and statutory creation of law. Kedua, sources of law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity of law. Semua norma yang lebih tinggi merupakan sumber hukum bagi norma yang lebih rendah. Oleh karena itu, pengertian sumber hukum (sources of law itu identik dengan hukum itu sendiri (the sources of law is always it self law). Ketiga, sources of law juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis, seperti norma moral, etika, prinsip-prinsip politik, atau pun pendapat para ahli, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum itu sendiri the sources of the law.
c)    Pengertian Sumber Hukum menurut Sudikno Mertokusumo.
- Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa, dan sebagainya,
- Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan pada hukum yang sekarang berlaku seperti hukum Perancis, hukum Romawi, dan lain-lain,
- Sebagai sumber Hukum berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa atau masyarakat),
- Sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum,
- Sebagai sumber darimana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undang-undang, lontar, batu tertulis dan sebagainya.[2]
d)    Pengertian Sumber Hukum menurut L.J. van Apeldoorn, istilah sumber hukum dipakai dalam arti sejarah, kemasyarakatan, filsafat, dan arti normal.
e)    Pengertian Sumber Hukum menurut Joeniarto, Sumber Hukum dapat dibedakan dalam tiga pengertian. Pertama, sumber hukum dalam pengertian sebagai asalnya hukum positif, wujudnya dalam bentuk yang konkret ialah berupa “keputusan dari yang berwenang” untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan. Kedua, sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukannya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan Hukum Positif. Wujudnya ialah berupa peraturan-peraturan atau ketetapan-ketetapan entah tertulis atau tidak tertulis.[3]
Meskipun pengertian sumber hukum dipahami secara beragam, sejalan dengan pendekatan yang digunakan dan sesuai dengan latar belakang dan pendidikannya, secara umum dapat disebutkan bahwa sumber hukum dipakai orang dalam dua arti. Arti yang pertama untuk menjawab pertanyaan “mengapa hukum itu mengikat?” Pertanyaan ini bisa juga dirumuskan “apa sumber (kekuatan) hukum hingga mengikat atau dipatuhi manusia”. Pengertian sumber dalam arti ini dinamakan sumber hukum dalam arti materiil. Kata sumber juga dipakai dalam arti lain, yaitu menjawab pertanyaan “dimanakah kita dapatkan atau temukakan aturan-aturan hukum yanmg mengatur kehidupan kita itu?” Sumber dalam arti kata ini dinamakan sumber hukum dalam arti formal”. Secara sederhana, sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat ditemukakannya aturan-aturan hukum.[4]
Yang menjadi sumber hukum bukan hanya yang mempunyai kualifikasi sebagai hukum, namun lebih luas dari itu. Faktor-faktor kemasyarakat merupakan sumber isi hukum. Penetapan saat berlakunya peraturan perundang-undangan sangat penting untuk menjamin kepastian hukum, namun demikian berlakunya peraturan perundang-undangan tidak harus ditetapkan setelah diundangkannya. Kalau menetapkan saat berlakunya berbeda dengan asas yang berlaku, maka harus ditetapkan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Asas-asas peraturan perundang-undangan melengkapi berlakunya sistem peraturan perundang-undangan, oleh sebab itu kalau terjadi kasus harus memperhatikan sifat materi yang diatur dan ruang lingkup berlakunya.[5]
Pada hakekatnya sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya.
Kata sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti,  yaitu:
a.            sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya.
b.            menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang berlaku : hukum Perancis, hukum Romawi.
c.            sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan yang berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).
d.            sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undang-undang, lontar, batu bertulis dan sebagainya.
e.            sebagai sumber terjadinya hukum : sember yang menimbulkan hukum.[6]
B.  Pendapat para pakar hukum
Terdapat beberapa pengertian tentang sumber hukum: segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dsb yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu. Menurut Zevenbergen, sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber yang menimbulkan hukum.
C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah, segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Yang dimaksudkan dengan segala apa saja, adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum. Sedang faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya ialah, dari mana hukum itu dapat ditemukan, dari mana asal mulanya hukum, di mana hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat menemukan hukum sebagai dasar dari putusannya.[7]
 Menurut Achmad Ali sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum. Namun perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus merupakan hukum, contohnya putusan hakim.[8]

2.2       Macam-macam sumber hukum
            Sebagaimana diuraikan diatas ada 2 sumber hukum yatu sumber hukum dalam arti materil dan formil.
1.    Menurut Algra:

a.    Sumber hukum materiil

Tempat di mana materi hukum itu diambil. Hukum merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi ekonomi, tradisi dan penelitian ilmiah.

b.    Sumber hukum formil
Tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Sumber hukum formil ialah undang-undang perjanjian antarnegara, yurisprudensi, kebiasaan.[9]

  1. Menurut Apeldoorn:
Membedakan  empat macam sumber hukum, yaitu:
a.    Sumber hukum dalam arti historis (rechtsbron in historischezin)
Tempat kita menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis.
Untuk mengetahui perkembangan hukum dalam sejarah, maka ahli sejarah menggunakan perkataan sumber hukum dalam dua arti, yaitu:
a.    Dalam arti sumber pengenalan hukum, yaitu semua dokumen-dokumen, surat-surat, dan keterangan-keterangan yang lain dari suatu masa tertentu yang memungkinkan ahli sejarah mengetahui hukum yang sedang berkembang.
b.    Dalam arti sumber-sumber dari mana pembentuk undang-undang memperoleh bahan dalam membentuk undang-undang, juga dalam arti sistem-sistem hukum dari mana tumbuh hukum positif sesuatu negara.[10]
Dari sudut sejarah ini dapat didekati dari dua sisi, yaitu sisi pertama, dari sumber dalam artian sumber pengenal (kenbron), dimana seseorang dapat mengenal, mengetahui, mengerti, mendapati, menemui aturan-aturan hukum itu. Kita dapat menemukan aturan-aturan hukum itu di dalam dokumen-dokumen yang menyangkut masalah hukum. Van Apeldoorn, mengatakan sumber hukum dalam arti sumber pengenal hukum yakni semua tulisan dokumen, sekripsi dan sebagainya dari mana kita dapat belajar mengenal hukum suatu bangsa pada sesuatu waktu. Misalnya; undang- undang, keputusan-keputusan hakim, piagam-piagam yang memuat perbuatan hukum, tulisan-tulisan yang tidak bersifat yuridis sepanjang memuat pemberitahuan menganai lembaga-lembaga hukum. Sisi kedua, sumber dalam arti dari mana asal bahan atau materi hukum itu diambil (welbron). Terhadap suatu hukum tertentu yang ada sebenarnya dapat dilacak atau ditelusuri asalnya bahan atau materi hukum, pasti ada sumbernya, induknya atau babonnya. Van Apeldoorn, mengatakan bahwa sumber dalam arti dari mana asal isi atau materi hukum itu adalah dari mana pembentuk undang-undang memperoleh bahan dalam membentuk undang- undang, juga dalam arti sistem-sistem hukum, dari mana tumbuh hukum positif sesuatu negara.[11]


b.    Sumber hukum dalam arti sosiologis (rechtsbron in sociologischezin)
Merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif. Misalnya keadaan agama, pandangan agama tsb.
Bagi seorang ahli sosiologi maka yang menjadi sumber hukum adalah masyarakat seluruhnya, sebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat itulah yang menentukan isi hukum positif.
Oleh karena itu untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa tersebut memerlukan kerja sama dari berbagai ilmu pengetahuan atau interdisipliner.[12]

c.    Sumber hukum dalam arti filosofis (rechtsbron in filosofischezin)
Bagi seorang ahli filsafat hukum perkataan sumber hukum terutama dipakai dalam dua arti, yaitu:
1.    Sumber isi hukum.
2.    Sumber kekuatan mengikat dari hukum.
Kekuatan mengikat dari kaedah hukum bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi kebanyakan orang didorong alasan kesusilaan atau kepercayaan.
a)    Sebagai sumber untuk isi hukum.
Mengenai sumber hukum sebagai sumber untuk isi hukum ini, ada yang berbeda antara ahli filsafat yang satu dengan ahli filsafat yang lainnya. Misalnya pandangan seorang filosof yang termasuk dalam aliran hukum teokratis mengatakan bahwa sumber daripada isi hukum adalah Tuhan, menurut pandangan ini maka pemerintah yang menetapkan hukum itu merupakan wakil Tuhan di dunia.
Sedangkan menurut seorang filosof yang menganut teori hukum alam yang rasionalistis maka mengatakan bahwa sumber daripada isi hukum adalah ratio.
Di samping itu, juga ada pandangan modern yang berkembang  di Jerman yang menyatakan bahwa sumber daripada isi hukum adalah kesadaran hukum masyarakat (negara) atau dengan perkataan lain pandangan yang hidup dalam suatu bangsa mengenai apakah hukum itu?
b)    Sebagai sumber untuk kekuatan mengikat dari hukum.
Terlepas dari ada atau tidaknya sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintah, apakah yang menyebabkan orang mentaati peraturan hukum itu dengan secara suka rela, bahkan dalam hal peraturan hukum itu tidak sesuai dengan perasaan hukum orang tersebut.
Mengenai mengapa orang itu mematuhi hukum menurut Schuyt adalah karena:
a.    Kepatuhan tersebut dipaksakan oleh sanksi (teori paksaan); dan
b.    Kepatuhan tersebut diberikan atas dasar persetujuan yang diberikan oleh para anggota masyarakat terhadap hukum yang diperlakukan untuk mereka (teori persetujuan).[13]

d.    Sumber hukum dalam arti formil
Sumber hukum dilihat dari cara terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat hakim dan penduduk. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat.[14]


2.3         Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi kaidah, dan terdiri atas:
1.    Pendapat umum
2. Agama
3. kebiasaan
4. Politik hukum dari pemerintah[15]
sumber hukum materil adalah faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat UU, pengaruh terhadap keputusan hakim, dsb).

Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum, atau tempat darimana materi hukum itu diambil untuk membantu pembentukan hukum.

Faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.
a. Faktor idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk UU ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya.

b. Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dll

Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempegaruhi pembentukan hukum yaitu:
a. Stuktural ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat antara lain: kekayaan alam, susunan geologi, perkembangan-perkembangan perusahaan dan pembagian kerja.
b. Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah berkembang dan pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tinglkah laku yang tetap.
c. Hukum yang berlaku
d. Tata hukum negara-negara lain
e. Keyakinan tentang agama dan kesusilaan
f. Kesadaran hukum[16]

2.4 Sumber Hukum Formil
                        Jenis-jenis  sumber hukum formil adalah :
            2.4.1   Undang-Undang
o   Dalam arti formil
                                    Adalah keputusan penguasa yang diberi nama undang-undang atau undang-undang yang dilihat dari segi bentuknya. Di Indonesia, undang-undang dalam arti formil ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR (UUD 1945 pasal 5 ayat (1)).
                        Undang-undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formil tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan “undang-undang” karena cara pembentukannya.[17] Contohnya : UUPA, UU tentang APBN, dan lain-lain.
                        Berdasarkan amandemen pertama UUD 1945 pada Pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dan selanjutnya berdasarkan Pasal 20 ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Dengan adanya perubahan UUD 1945 tersebut maka kedudukan DPR jelas merupakan lembaga pemegang kekuasaan legislatif, sedangkan fungsi inisiatif di bidang legislasi yang dimiliki oleh presiden tidak menempatkan presiden sebagai pemegang kekuasaan utama di bidang ini. Perubahan ini sekaligus menegaskan bahwa UUD 1945 dengan sungguh-sungguh menerapkan sistem pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dimana sebelumnya fungsi legislatif dan eksekutif tidak dipisahkan secara tegas dan masih bersifat tumpang tindih. Bentuk hukum peraturan daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, sama-sama merupakan bentuk peraturan yang proses pembentukannya melibatkan peran wakil rakyat dan kepala pemerintahan yang bersangkutan. Khusus untuk tingkat desa, meskipun tidak terdapat lembaga parlemen sebagaimana mestinya, sebagaimana diatur dalam Pasal 209 dan 210 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dibentuk Badan Permusyawaratan Desa, dimana ditegaskan bahwa “Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat”. Untuk melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat tersebut, maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberi wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu selain UU, Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Demikian pula Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa, selain bersama-sama para wakil rakyat membentuk peraturan daerah dan peraturan desa, juga berwenang mengeluarkan peraturan kepala daerah sebagai pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi tersebut.[18]

o      Dalam arti materiil (penetapan)
Dalam arti materiil yang dinamakan undang-undang merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.[19] Contohnya : UUPA ditinjau dari segi kekuatan mengikatnya undang-undang ini mengikat setiap WNI di bidang agraria.
- Penetapan kaidah hukum yang disebutkan dengan tegas, sehingga menurut sifatnya menjadi tegas.
- Semua peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur artinya berlaku untuk umum.
- Keputusan penguasa yang dilihat dari segi isinya mempunyai kekuatan mengikat untuk umum.[20]

o                        Menurut Algra
Suatu peraturan umum yang berasal dari penguasa yang berwenang untuk itu.

o     Menurut UU 10/2004
Undang undang adalah peraturan per-UU-an yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama presiden (pasal 1 ayat 3).[21]
Syarat berlakunya ialah diundangkannya dalam lembaran negara (LN = staatsblad) dulu oleh Menteri/Sekretaris negara. Sekarang oleh Menkuhham (UU No. 10 tahun 2004). Tujuannya agar setiap orang dapat mengetahui UU tersebut (fictie=setiap orang dianggap tahu akan UU = iedereen wordt geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare consetur= in dubio proreo, latin).
Konsekuensinya adalah ketika seseorang melanggar ketentuan hukum tidak boleh beralasan bahwa ketentuan hukum itu tidak diketahuinya. Artinya apabila suatu ketentuan perundang-undangan itu sudah diberlakukan (diundangkan) maka dianggap (difiksikan) bahwa semua orang telah mengetahuinya dan untuk itu harus ditaati.
Berakhirnya/tidak berlaku lagi jika :
a. Jangka waktu berlakunya telah ditentukan UU itu sudah lampau.
b. Keadaan atau hal untuk mana UU itu diadakan sudah tidak ada lagi .
c. UU itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi.
d. Telah ada UU yang baru yang isinya bertentangan atau berlainan dgn UU yg dulu berlaku.
Lembaran negara (LN) dan berita negara :
LN adalah suatu lembaran (kertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua peraturan negara dan pemerintah agar sah berlaku. Penjelasan daripada suatu UU dimuat dalam tambahan LN, yg mempunyai nomor urut. LN diterbitkan oleh Menteri sekretaris negara, yg disebut dengan tahun penerbitannya dan nomor berurut, misalnya L.N tahun 1962 No. 1 (L.N.1962/1).
Berita negara adalah suatu penerbitan resmi sekretariat negara yg memuat hal-hal yang berhubungan dengan peraturan-peraturan negara dan pemerintah dan memuat surat-surat yang dianggap perlu seperti : Akta pendirian PT, nama orang-orang yang dinaturalisasi menjadi WNI, dll.
Catatan : Jika berkaitan dengan peraturan daerah diatur dalam lembaran daerah.
Kekuatan berlakunya undang-undang :
• UU mengikat sejak diundangkan berarti sejak saat itu orang wajib mengakui eksistensinya UU.
• Sedangkan kekuatan berlakunya UU berarti sudah menyangkut berlakunya UU secara operasional.
• Agar UU mempunyai kekuatan berlaku harus memenuhi persyaratan yaitu 1) Kekuatan berlaku yuridis, 2) Kekuatan berlaku sosiologis dan, 3) kekuatan berlaku fiolosofis.
• Hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut (Pasal 7 UU No. 10/2004) : [22]
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah (propinsi, kabupaten, desa).

2.4.2           Kebiasaan
Merupakan sumber hukum yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat dan dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. Namun tidak semua kebiasaan itu mengandung hukum yang adil dan mengatur tata kehidupan masyarakat sehingga tidak semua kebiasaan dijadikan sumber hukum. Selain kebiasaan dikenal pula adat istiadat, yaitu himpunan kaidah sosial berupa tradisi yang umumnya bersifat sakral yang mengatur tata kehidupan sosial masyarakat tertentu.[23]
                        Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh suatu masyarakat yang selalu dilakukan oleh orang lain sedemikian rupa, sehingga masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian.
                        Hukum kebiasaan adalah himpunan kaidah kaidah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan perundangan dalam suatu kenyataan ditaati juga, kerena orang sanggup menerima kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk lingkungan badan perundang-undangan.[24]
                        Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum yang tertua, sumber dari mana dikenal atau dapat digali sebagian dari hukum di luar undang-undang, tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya.[25]
                        Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yg tetap, ajeg, lazim, normal atau dalam masyarakat maupun dalam pergaulan hidup tertentu. Pergaulan ini dapat merupakan lingkungan yang sempit seperti desa, tetapi dapat juga luas yang meliputi masyarakat negara yang berdaulat.
Tidak semua kebiasaan itu mengandung hukum yang baik dan adil. Oleh karena itu belum tentu suatu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi sumber hukum. Hanya kebiasan-kebiasaan dan adat istiadat yang baik dan diterima masyarakat yang sesuai dengan kepribadian masyarakat tersebutlah yang kemudian berkembang menjadi hukum kebiasaan. Sebaliknya ada kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan ditolak oleh masyarakat, dan ini tentunya tidak akan menjadi hukum kebiasaan masyarakat, sebagai contoh: kebiasaan begadang, berpakaian seronok, dan sebagainya.
Sudikno menyebutkan bahwa untuk timbulnya kebiasaan diperlukan beberapa syarat tertentu yaitu:
a. Syarat materiil
Adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang (longa et invetarata consuetindo).
b. Syarat intelektual
Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan (opinio necessitatis).
c. Syarat akibat hukum apabila hukum itu dilanggar[26]
Utrecht, menyebutkan bahwa: “Hukum kebiasaan ialah kaidah-kaidah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan –dalam suasana “werkelijkheid” (kenyataan) ditaati juga, karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan telah ternyata kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-undangan. Dengan demikian hukum kebiasaan itu kaidah yang – biarpun tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan- masih juga sama kuatnya dengan hukum tertulis. Apalagi bilamana kaidah tersebut menerima perhatian dari pihak pemerintah”.[27]

2.4.3           Traktat
Perjanjian yang dibuat antar negara yang dituangkan dalam bentuk tertentu. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian internasional. Adapun yang dimuat dalam sebuah traktat pada umumnya adalah ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum dan mengikat negara-negara penanda tangan. Ini berarti timbulnya suatu traktat yang menciptakan hukum sehingga dapat digolongkan ke dalam hukum formil.[28]

Traktat atau perjanjian itu terdiri dari beberapa macam, yaitu:
•           Traktat Bilateral
Yaitu apabila perjanjian dilakukan oleh dua negara. Contoh: Traktat antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia tentang Perjanjian ekstradisi menyangkut kejahatan kriminal biasa dan kejahatan politik.
•           Traktat Multilateral
Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara. Contoh: Perjanjian kerjasama beberapa negara di bidang pertahanan dan ideologi seperti NATO.
•           Traktat Kolektif/ Traktat Terbuka
Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara atau multilateral yang kemudian terbuka untuk negara lain terikat pada perjanjian tersebut.
Contoh: Perjanjian dalam PBB dimana negara lain, terbuka untuk ikut menjadi anggota PBB yang terikat pada perjanjian yang ditetapkan oleh PBB tersebut.
Adapun pelaksanaan pembuatan traktat tersebut dilakukan dalam beberapa tahap dimana setiap negara mungkin saja berbeda, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:[29]
1.         Tahap Perundingan
Tahap ini merupakan tahap yang paling awal biasa dilakukan oleh negara-negara yang akan mengadakan perjanjian. Perundingan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis atau melalui teknologi informasi lainnya. Perundingan juga dapat dilakukan dengan melalui utusan masing-masing negara untuk bertemu dan berunding baik melalui suatu konferensi, kongres, muktamar atau sidang.
2.         Tahap Penutupan
Tahap penutupan biasanya apabila tahap perundingan telah tercapai kata sepakat atau persetujuan, maka perundingan ditutup dengan suatu naskah dalam bentuk teks tertulis yang dikenal dengan istilah “Piagam Hasil Perundingan” atau “Sluitings-Oorkonde”. Piagam penutupan ini ditandatangani oleh masing-masing utusan negara yang mengadakan perjanjian.
3.         Tahap Pengesahan atau ratifikasi
Persetujuan piagam hasil perundingan tersebut kemudian oleh masing-masing negara (biasanya tiap negara menerapkan mekanisme yang berbeda) untuk dimintakan persetujuan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.
4.         Tahap Pertukaran Piagam
Pertukaran piagam atau peletakkan piagam dalam perjanjian bilateral maka naskah piagam yang telah diratifikasi atau telah disahkan oleh negara masing-masing dipertukarkan antara kedua negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam traktat kolektif atau terbuka peletakkan naskah piagam tersebut diganti dengan peletakkan surat-surat piagam yang telah disahkan masing-masing negara itu, dalam dua kemungkinan yaitu disimpan oleh salah satu negara berdasarkan persetujuan bersama yang sebelumnya dinyatakan dalam traktat atau disimpan dalam arsip markas besar PBB yaitu pada Sekretaris Jenderal PBB.
                        Perjanjian Internasional atau traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam arti formal. Dikatakan demikian oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional.
Dasar hukum treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang berisi :
(1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan /atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.[30]

2.4.4           Yurisprudensi
                        Pengertian yurisprudensi di negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan pengadilan, di negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Sudikno mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pundengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.
Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa di samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :
1) Putusan perdamaian;
2) Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;
3) Putusan pengadilan tinggi yang tidak di kasasi;
4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.[31]
                        Yurispudensi berarti peradilan pada umumnya (judicature, rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. 
Dalam uraian ini yang dimaksud dengan yurispudensi adalah putusan pengadilan. Jadi putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti undang-undang. Hakim dilarang untuk membuat peraturan yang bersifat umum yang mengikat setiap orang dalam putusannya (pas. 21 AB), karena yang berwenang untuk itu adalah lembaga legislatif.

Fungsi Yurisprudensi: [32]
o        Terwujudnya standar hukum (law standard) dalam jenis perkara tertentu
ΓΌ  Sebagai pedoman
ΓΌ  Agar putusan yang satu dan yang lain tidak bertentangan
ΓΌ  Tidak merusak citra peradilan
ΓΌ  Kepastian hukum
o        Menciptakan landasan dan persepsi hukum yang sama (Unified Legal Frame Work – Unified Legal Opinion)
ΓΌ  Dapat membina persamaan landasan hukum yang seragam
ΓΌ  Mencitakan keseragaman nilai dan bahasa hukum yang sama
ΓΌ  Dalam menyelesaikan kasus yang sama diterapkan nilai hukum yang sama dan seragam
o        Tercipta kepastian penegak hukum  (to settle the certainty of law enforcement)
ΓΌ Perasaan hukum yang sama
ΓΌ Memantapkan rasa kebenaran dan keadilan yang sama
ΓΌ Menciptakan perilaku hukum yang sama
o        Mencegah terjadinya putusan disparitas (kesenjangan/perbedaan antara yang satu dengan yang lain)
ΓΌ Agar tidak terjadi difference judge difference sentence
o                           Proses peradilan lebih efisien

2.4.5   Doktrin
                        Biasanya hakim dalam memutuskan perkaranya didasarkan kepada undang-undang, perjanjian internasional dan yurisprudensi. Apabila ternyata ketiga sumber tersebut tidak dapat memberi semua jawaban mengenai hukumnya, maka hukumnya dicari pada pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum. Jadi doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim, dalam mengambil keputusannya. Di Indonesia dalam hukum Islam banyak ajaran-ajaran dari Imam Syafi’i yang digunakan oleh hakim pada Pengadilan Agama dalam pengambilan putusan-putusannya[33].
                        Pendapat para sarjana hukum yang ternama  juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
                        Bagi hukum internasional pendapat para sarjana hukum merupakan sumber hukum yang sangat penting.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa pendapat para sarjana hukum yang terkenal itu sangat mempengaruhi kehidupan hukum, terutama dalam hal yang berkaitan dengan jurisprudensi.
                        Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statue of the International Court of Justice) pada pasal 38 ayat (1) mengakui, bahwa dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat mempergunakan beberapa pedoman antara lain sebagai berikut: [34]
a.    Perjanjian-perjanjian internasional (international conventions)
b.    Kebiasaan-kebiasaan internasional (international customs)
c.    Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (the general principles of law recognized by civilized nations)
d.    Keputusan hakim (judical dicisions) dan pendapat sarjana hukum.
Sedangkan hukum Islam juga mengenal adanya sumber hukum. Kata-kata sumber hukum merupakan terjemahan dari lafazh mashadir al ahkam. Kata-kata tersebut tidak diketemukan dalam kitab-kitab  hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fiqih dalam ushul fiqih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan istilah dalil-dalil syariat. Pengertian dalil itu menurut Ulama Ushul adalah sesuatu yang diambil daripadanya, hukum syara’ secara amali, mutlak, baik dengan jalan qath’l atau zhonni.
Menurut penyelidikan dapat dipastikan, bahwa dalil-dalil syar’iyah, berpangkal kepada empat pokok, yaitu:
a.    Al Qur’an;
b.    Al Sunnah;
c.    Al Ijima’ ; dan
d.    Al Qiyas.[35]






KESIMPULAN

            Dari uraian singkat materi mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum dalam makalah ini, disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.


DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.S.T. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Soeroso, R (2008). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
http://thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/sumber-hukum-tata-negara/,30 September 2011
http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-hukum/, 30 September 2011
http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?Itemid=74&catid=29%3Afisip&id=95%3Aisip-4130-pengantar-ilmu-hukum-pengantar-tata-hukum-indonesia&option=com_content&view=article, 30 September 2011
Mertokusumo, Sudikno (2005). Mengenal Hukum;Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2009/08/sekilas-pengertian-sumber-hukum.html, 30 September 2011
(2003). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:UIN Jakarta Press.
http://www.scribd.com/doc/39594921/Sumber-Hukum-Formal-Dan-Material,30 September 2011
http://raharjoonline.blogspot.com/2009/02/sumber-hukum-administrasi-negara.html, 30 September 2011
http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/10/sumber-sumber-hukum-compatibility-mode.pdf, 30 September 2011
http://repository.ui.ac.id, 30 September 2011
http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2009/08/sekilas-pengertian-sumber-hukum.html, 30 September 2011
http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/04/sumber-hukum-materil-dan-formil.html
Masriani, Yulies Tiena, (2008). Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.



[1] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum(Jakarta:Sinar Grafika,cetakan ke-10 2008) hlm.117
[2] Sudikno mertokusumo, Mengenal Hukum;Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, cetakan ke-2 2005) hlm.82
[3] http://thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/sumber-hukum-tata-negara/
[4] http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-hukum/
[5] http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?Itemid=74&catid=29%3Afisip&id=95%3Aisip-4130-pengantar-ilmu-hukum-pengantar-tata-hukum-indonesia&option=com_content&view=article
[6] Sudikno mertokusumo, op.cit, hlm.82
[7] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia(Jakarta:Balai Pustaka, cetakan ke-8 1989) hlm. 46
[9]   R. Soeroso, op.cit, hlm.118
[10] Pengantar Ilmu Hukum(Jakarta:UIN Jakarta Press,cetakan ke-1 2003) hlm.171
[11] http://www.scribd.com/doc/39594921/Sumber-Hukum-Formal-Dan-Material
[12]UIN Jakarta Press, op.cit, hlm.171
[13]UIN Jakarta Press, op.cit, 172-173
[14] R. Soeroso, op.cit, hlm.118-119
[15] http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/04/sumber-hukum-materil-dan-formil.html
[16] ibid
[17] Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.66
[18] http://raharjoonline.blogspot.com/2009/02/sumber-hukum-administrasi-negara.html
[19] Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.66
[20] R. Soeroso, op.cit, hlm.129
[21] http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/10/sumber-sumber-hukum-compatibility-mode.pdf
[22] http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-hukum/
[23] http://repository.ui.ac.id
[24] R. Soeroso, op.cit, hlm.151
[25] Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.84
[26] Ibid, hlm. 106
[27] Ernast Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia(Jakarta:ichtiar cetakan ke-4 1966) hlm. 120-122
[28] R. Soeroso, op.cit, hlm.171
[29] Ibid, hal.172
[30] http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2009/08/sekilas-pengertian-sumber-hukum.html
[31] Ibid
[32] http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/10/sumber-sumber-hukum-compatibility-mode.pdf
[33] http://raharjoonline.blogspot.com/2009/02/sumber-hukum-administrasi-negara.html
[34] Yulies Tiena Masriani,S.H.,M.Hum. Pengantar Hukum Indonesia, cetakan ke-4, 2008. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm17
[35] UIN Jakarta Press, op.cit, 185

2 komentar: