BAB I
PENDAHULUAN
Sejak
dahulu, manusia hidup bersama, berkelompok membentuk masyarakat tertentu,
mendiami suatu tempat, dan menghasilkan kebudayaan sesuai dengan keadaan dan
tempat tersebut. Manusia secara kodrati adalah sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai kehidupan jiwa yang
menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Tiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak sendiri. Namun
dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan
kerjasama, tolong menolong, bantu membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya.
Setiap manusia memiliki kepentingan, dan acap kali kepentingan tersebut
berlainan bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan
pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. Apabila ketidak-seimbangan
perhubungan masyarakat yang menjadi perselisihan itu dibiarkan, maka mungkin
akan timbul perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dari pemikiran
manusia dalam masyarakat dan makhluk sosial , kelompok manusia menghasilkan
suatu kebudayaan yang bernama kaidah atau aturan atau hukum tertentu yang
mengatur segala tingkah lakunya agar tidak menyimpang dari hati sanubari
manusia.
Seiring
dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebudayaan manusia mengalami
perkembangan pula. Termasuk perkembangan hukum. Peradaban yang semakin
berkembang membuat kehidupan manusia sangat membutuhkan aturan yang dapat
membatasi prilaku manusia sendiri yang telah banyak menyimpang seiring dengan
perkembangan pemikiran manusia yang semakin maju.
Aturan
atau hukum tersebut mengalami perubahan dan terus mengalami perubahan yang
disesuaikan dengan kemajuan zaman. Untuk itu, suatu negara hukum sangat perlu
mengadakan pembangunan terutama di bidang hukum. Mengenai pembangunan hukum ini
tidaklah mudah dilakukan. Hal ini disebabkan pembangunan hukum tersebut tidak
boleh bertentangan dengan tertib hukum yang lain.
Pada
umumnya orang untuk mengetahui serta mengenal hukum, maka orang itu akan mencari
dari mana sumber yang menimbulkan hukum atau sumber terbentuknya hukum itu
sendiri. Hal ini berarti peninjauan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya hukum, dari mana hukum itu dapat diketemukan, dari mana asal mulanya
hukum dan lain sebagainya.
Sumber-sumber
hukum itu dapat ditinjau dari beberapa sudut. Akibat peninjauan dari beberapa
sudut inilah maka arti dari sumber-sumber itu berbeda-beda antara satu dengan
yang lainnya, dan tergantung dari sudut mana orang itu meninjaunya. Apakah orang
itu meninjau sumber hukum itu dari sudut ilmu hukum, ilmu kemasyarakatan, ilmu
ekonomi, ilmu filsafat dan lain sebagainya.
Dengan
demikian tepatlah apa yang dikatakan oleh Paton, adalah sebagai berikut: “The term sources of law has many meanings
and its frequent cause of error unless we scrutines carefully the particular
meaning given to it any particular text.” (Istilah sumber hukum itu
mempunyai banyak arti yang sering menimbulkan kesalahan-kesalahan, kecuali
kalau diteliti dengan seksama mengenai arti tertentu yang diberikan kepadanya
dalam pokok pembicaraan tertentu pula).
Masalah
sumber hukum merupakan suatu hal yang perlu dipahami, dianalisis serta
ditimbulkan problema-problema dan pemecahannya, sehingga dapat diharapkan
memiliki keserasian dengan perkembangan hukum yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya. Dalam lapangan ilmu pengetahuan hukum (law science), terutama
pada bagian-bagian yang erat hubungannya dengan pembuatan hukum (law making)
dan pelaksanaannya (law enfiroment).
Menurut
Bagir Manan, menelaah dan mempelajari sumber hukum memerlukan kehati-hatian
karena istilah sumber hukum mengandung berbagai pengertian. Tanpa kehati-hati
an dan kecermatan yang mendalam mengenai apa yang dimaksud dengan sumber hukum
dan dapat menimbulkan kesesatan. Dari alasan itulah makalah ini disusun.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sumber – Sumber Hukum
A. Arti tentang sumber hukum
Sumber hukum adalah
segala sesuatu yang menimbulkan aturan – aturan yang mengikat dan memaksa,
sehingga apabila aturan –aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang
tegas dan nyata bagi pelanggarnya.[1]
Yang
dimaksud dengan segala apa saja (sesuatu) yakni faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan
berlakunya hukum secara formal, darimana hukum itu dapat ditemukan. dsb.
a) Pengertian
Sumber Hukum menurut pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
Ditetapkan
bahwa : (1) Sumber Hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan
peraturan perundang-undangan; (2) Sumber Hukum terdiri atas sumber Hukum
tertulis dan tidak tertulis; (3) Sumber Hukum dasar nasional adalah (i)
Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /
Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan (ii) batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
b) Pengertian
sumber Hukum menurut Hans Kelsen
Sumber
Hukum merupakan “General Theorybof Law and State”, istilah sumber Hukum itu
(sources of law) dapat mengandung banyak pengertian, karena sifatnya yang
figurative and highly ambiguous. Pertama yang lazimnya dipahami sebagai sources
of law ada dua macam, yaitu custom and statute. Oleh karena itu, sources of law
biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation, yaitu
customary and statutory creation of law. Kedua, sources of law juga dapat
dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity of
law. Semua norma yang lebih tinggi merupakan sumber hukum bagi norma yang lebih
rendah. Oleh karena itu, pengertian sumber hukum (sources of law itu identik
dengan hukum itu sendiri (the sources of law is always it self law). Ketiga,
sources of law juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis, seperti
norma moral, etika, prinsip-prinsip politik, atau pun pendapat para ahli, dan
sebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum itu sendiri
the sources of the law.
c) Pengertian
Sumber Hukum menurut Sudikno Mertokusumo.
- Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang
merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa,
dan sebagainya,
- Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi
bahan-bahan pada hukum yang sekarang berlaku seperti hukum Perancis, hukum
Romawi, dan lain-lain,
- Sebagai sumber Hukum berlakunya, yang memberi
kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa atau
masyarakat),
- Sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang
menimbulkan hukum,
- Sebagai sumber darimana kita dapat mengenal
hukum, misalnya dokumen, undang-undang, lontar, batu tertulis dan sebagainya.[2]
d) Pengertian
Sumber Hukum menurut L.J. van Apeldoorn, istilah sumber hukum dipakai dalam
arti sejarah, kemasyarakatan, filsafat, dan arti normal.
e) Pengertian
Sumber Hukum menurut Joeniarto, Sumber Hukum dapat dibedakan dalam tiga
pengertian. Pertama, sumber hukum dalam pengertian sebagai asalnya hukum
positif, wujudnya dalam bentuk yang konkret ialah berupa “keputusan dari yang
berwenang” untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan. Kedua,
sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukannya aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan Hukum Positif. Wujudnya ialah berupa peraturan-peraturan
atau ketetapan-ketetapan entah tertulis atau tidak tertulis.[3]
Meskipun
pengertian sumber hukum dipahami secara beragam, sejalan dengan pendekatan yang
digunakan dan sesuai dengan latar belakang dan pendidikannya, secara umum dapat
disebutkan bahwa sumber hukum dipakai orang dalam dua arti. Arti yang pertama
untuk menjawab pertanyaan “mengapa hukum itu mengikat?” Pertanyaan ini bisa
juga dirumuskan “apa sumber (kekuatan) hukum hingga mengikat atau dipatuhi
manusia”. Pengertian sumber dalam arti ini dinamakan sumber hukum dalam arti
materiil. Kata sumber juga dipakai dalam arti lain, yaitu menjawab pertanyaan
“dimanakah kita dapatkan atau temukakan aturan-aturan hukum yanmg mengatur
kehidupan kita itu?” Sumber dalam arti kata ini dinamakan sumber hukum dalam
arti formal”. Secara sederhana, sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat
menimbulkan aturan hukum serta tempat ditemukakannya aturan-aturan hukum.[4]
Yang
menjadi sumber hukum bukan hanya yang mempunyai kualifikasi sebagai hukum,
namun lebih luas dari itu. Faktor-faktor kemasyarakat merupakan sumber isi
hukum. Penetapan saat berlakunya peraturan perundang-undangan sangat penting
untuk menjamin kepastian hukum, namun demikian berlakunya peraturan
perundang-undangan tidak harus ditetapkan setelah diundangkannya. Kalau
menetapkan saat berlakunya berbeda dengan asas yang berlaku, maka harus
ditetapkan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Asas-asas peraturan perundang-undangan melengkapi berlakunya sistem peraturan
perundang-undangan, oleh sebab itu kalau terjadi kasus harus memperhatikan
sifat materi yang diatur dan ruang lingkup berlakunya.[5]
Pada
hakekatnya sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali
hukumnya.
Kata
sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti, yaitu:
a.
sebagai asas hukum, sebagai
sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia,
jiwa bangsa dan sebagainya.
b.
menunjukkan hukum terdahulu
yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang berlaku : hukum Perancis,
hukum Romawi.
c.
sebagai sumber berlakunya,
yang memberi kekuatan yang berlaku secara formal kepada peraturan hukum
(penguasa, masyarakat).
d.
sebagai sumber dari mana
kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undang-undang, lontar, batu
bertulis dan sebagainya.
e.
sebagai sumber terjadinya
hukum : sember yang menimbulkan hukum.[6]
B. Pendapat para pakar hukum
Terdapat beberapa pengertian tentang sumber hukum: segala sesuatu yang
berupa tulisan, dokumen, naskah, dsb yang dipergunakan oleh suatu bangsa
sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu. Menurut Zevenbergen, sumber hukum
adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber yang menimbulkan hukum.
C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah,
segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang
bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi
yang tegas dan nyata. Yang dimaksudkan dengan segala apa saja, adalah
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum. Sedang faktor-faktor
yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya ialah,
dari mana hukum itu dapat ditemukan, dari mana asal mulanya hukum, di mana
hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat menemukan hukum sebagai dasar dari
putusannya.[7]
Menurut Achmad Ali sumber hukum
adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum. Namun perlu diketahui pula
bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus merupakan hukum, contohnya putusan
hakim.[8]
2.2 Macam-macam sumber hukum
Sebagaimana
diuraikan diatas ada 2 sumber hukum yatu sumber hukum dalam arti materil dan
formil.
1.
Menurut
Algra:
a. Sumber
hukum materiil
Tempat
di mana materi hukum itu diambil. Hukum merupakan faktor yang membantu
pembentukan hukum misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi
ekonomi, tradisi dan penelitian ilmiah.
b. Sumber
hukum formil
Tempat atau sumber
dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Sumber hukum formil ialah
undang-undang perjanjian antarnegara, yurisprudensi, kebiasaan.[9]
- Menurut Apeldoorn:
Membedakan empat macam sumber hukum, yaitu:
a.
Sumber
hukum dalam arti historis (rechtsbron in historischezin)
Tempat
kita menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis.
Untuk
mengetahui perkembangan hukum dalam sejarah, maka ahli sejarah menggunakan
perkataan sumber hukum dalam dua arti, yaitu:
a. Dalam
arti sumber pengenalan hukum, yaitu semua dokumen-dokumen, surat-surat, dan
keterangan-keterangan yang lain dari suatu masa tertentu yang memungkinkan ahli
sejarah mengetahui hukum yang sedang berkembang.
b. Dalam
arti sumber-sumber dari mana pembentuk undang-undang memperoleh bahan dalam
membentuk undang-undang, juga dalam arti sistem-sistem hukum dari mana tumbuh
hukum positif sesuatu negara.[10]
Dari
sudut sejarah ini dapat didekati dari dua sisi, yaitu sisi pertama, dari sumber
dalam artian sumber pengenal (kenbron), dimana seseorang dapat mengenal,
mengetahui, mengerti, mendapati, menemui aturan-aturan hukum itu. Kita dapat
menemukan aturan-aturan hukum itu di dalam dokumen-dokumen yang menyangkut
masalah hukum. Van Apeldoorn, mengatakan sumber hukum dalam arti sumber
pengenal hukum yakni semua tulisan dokumen, sekripsi dan sebagainya dari mana
kita dapat belajar mengenal hukum suatu bangsa pada sesuatu waktu. Misalnya;
undang- undang, keputusan-keputusan hakim, piagam-piagam yang memuat perbuatan
hukum, tulisan-tulisan yang tidak bersifat yuridis sepanjang memuat
pemberitahuan menganai lembaga-lembaga hukum. Sisi kedua, sumber dalam arti
dari mana asal bahan atau materi hukum itu diambil (welbron). Terhadap suatu
hukum tertentu yang ada sebenarnya dapat dilacak atau ditelusuri asalnya bahan
atau materi hukum, pasti ada sumbernya, induknya atau babonnya. Van Apeldoorn,
mengatakan bahwa sumber dalam arti dari mana asal isi atau materi hukum itu
adalah dari mana pembentuk undang-undang memperoleh bahan dalam membentuk
undang- undang, juga dalam arti sistem-sistem hukum, dari mana tumbuh hukum
positif sesuatu negara.[11]
b.
Sumber
hukum dalam arti sosiologis (rechtsbron in sociologischezin)
Merupakan
faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif. Misalnya keadaan agama,
pandangan agama tsb.
Bagi
seorang ahli sosiologi maka yang menjadi sumber hukum adalah masyarakat
seluruhnya, sebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat itulah yang
menentukan isi hukum positif.
Oleh
karena itu untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa tersebut memerlukan kerja sama
dari berbagai ilmu pengetahuan atau interdisipliner.[12]
c.
Sumber
hukum dalam arti filosofis (rechtsbron in filosofischezin)
Bagi
seorang ahli filsafat hukum perkataan sumber hukum terutama dipakai dalam dua
arti, yaitu:
1. Sumber
isi hukum.
2. Sumber
kekuatan mengikat dari hukum.
Kekuatan
mengikat dari kaedah hukum bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang
bersifat memaksa, tetapi kebanyakan orang didorong alasan kesusilaan atau
kepercayaan.
a) Sebagai
sumber untuk isi hukum.
Mengenai
sumber hukum sebagai sumber untuk isi hukum ini, ada yang berbeda antara ahli
filsafat yang satu dengan ahli filsafat yang lainnya. Misalnya pandangan
seorang filosof yang termasuk dalam aliran hukum teokratis mengatakan bahwa
sumber daripada isi hukum adalah Tuhan, menurut pandangan ini maka pemerintah
yang menetapkan hukum itu merupakan wakil Tuhan di dunia.
Sedangkan
menurut seorang filosof yang menganut teori hukum alam yang rasionalistis maka
mengatakan bahwa sumber daripada isi hukum adalah ratio.
Di
samping itu, juga ada pandangan modern yang berkembang di Jerman yang menyatakan bahwa sumber
daripada isi hukum adalah kesadaran hukum masyarakat (negara) atau dengan
perkataan lain pandangan yang hidup dalam suatu bangsa mengenai apakah hukum
itu?
b) Sebagai
sumber untuk kekuatan mengikat dari hukum.
Terlepas
dari ada atau tidaknya sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintah, apakah yang
menyebabkan orang mentaati peraturan hukum itu dengan secara suka rela, bahkan
dalam hal peraturan hukum itu tidak sesuai dengan perasaan hukum orang
tersebut.
Mengenai
mengapa orang itu mematuhi hukum menurut Schuyt adalah karena:
a. Kepatuhan
tersebut dipaksakan oleh sanksi (teori paksaan); dan
b. Kepatuhan
tersebut diberikan atas dasar persetujuan yang diberikan oleh para anggota
masyarakat terhadap hukum yang diperlakukan untuk mereka (teori persetujuan).[13]
d.
Sumber
hukum dalam arti formil
Sumber
hukum dilihat dari cara terjadinya hukum positif merupakan fakta yang
menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat hakim dan penduduk. Isinya timbul
dari kesadaran masyarakat.[14]
2.3
Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang
menentukan isi kaidah, dan terdiri atas:
1. Pendapat umum
2. Agama
3. kebiasaan
4. Politik hukum dari pemerintah[15]
sumber
hukum materil adalah faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan
hukum (pengaruh terhadap pembuat UU, pengaruh terhadap keputusan hakim, dsb).
Sumber
hukum materil ini merupakan faktor yang mempengaruhi materi (isi) dari
aturan-aturan hukum, atau tempat darimana materi hukum itu diambil untuk
membantu pembentukan hukum.
Faktor
tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.
a.
Faktor idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus
ditaati oleh para pembentuk UU ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam
melaksanakan tugasnya.
b.
Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat
dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat
yang bersangkutan. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dll
Faktor-faktor
kemasyarakatan yang mempegaruhi pembentukan hukum yaitu:
a.
Stuktural ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat antara lain: kekayaan
alam, susunan geologi, perkembangan-perkembangan perusahaan dan pembagian
kerja.
b.
Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah berkembang dan pada
tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tinglkah laku yang tetap.
c.
Hukum yang berlaku
d.
Tata hukum negara-negara lain
e.
Keyakinan tentang agama dan kesusilaan
f.
Kesadaran hukum[16]
2.4 Sumber Hukum Formil
Jenis-jenis
sumber hukum formil adalah :
2.4.1 Undang-Undang
o Dalam
arti formil
Adalah
keputusan penguasa yang diberi nama undang-undang atau undang-undang yang
dilihat dari segi bentuknya. Di Indonesia, undang-undang dalam arti formil
ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR (UUD 1945 pasal 5 ayat (1)).
Undang-undang
dalam arti formil ialah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara
terjadinya disebut undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formil tidak
lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan “undang-undang”
karena cara pembentukannya.[17]
Contohnya : UUPA, UU tentang APBN, dan lain-lain.
Berdasarkan
amandemen pertama UUD 1945 pada Pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dan selanjutnya berdasarkan Pasal
20 ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Dengan
adanya perubahan UUD 1945 tersebut maka kedudukan DPR jelas merupakan lembaga
pemegang kekuasaan legislatif, sedangkan fungsi inisiatif di bidang legislasi
yang dimiliki oleh presiden tidak menempatkan presiden sebagai pemegang
kekuasaan utama di bidang ini. Perubahan ini sekaligus menegaskan bahwa UUD
1945 dengan sungguh-sungguh menerapkan sistem pemisahan kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif dimana sebelumnya fungsi legislatif dan eksekutif
tidak dipisahkan secara tegas dan masih bersifat tumpang tindih. Bentuk hukum
peraturan daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, sama-sama
merupakan bentuk peraturan yang proses pembentukannya melibatkan peran wakil
rakyat dan kepala pemerintahan yang bersangkutan. Khusus untuk tingkat desa,
meskipun tidak terdapat lembaga parlemen sebagaimana mestinya, sebagaimana
diatur dalam Pasal 209 dan 210 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dibentuk Badan Permusyawaratan Desa, dimana ditegaskan bahwa “Badan
Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat”. Untuk melaksanakan peraturan
perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat tersebut, maka kepala
pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberi wewenang untuk membuat
peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu selain UU, Presiden
juga berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
Demikian pula Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa, selain bersama-sama
para wakil rakyat membentuk peraturan daerah dan peraturan desa, juga berwenang
mengeluarkan peraturan kepala daerah sebagai pelaksanaan terhadap peraturan
yang lebih tinggi tersebut.[18]
o Dalam
arti materiil (penetapan)
Dalam arti materiil yang dinamakan
undang-undang merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari
isinya disebut undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.[19]
Contohnya : UUPA ditinjau dari segi kekuatan mengikatnya undang-undang ini
mengikat setiap WNI di bidang agraria.
-
Penetapan kaidah hukum yang disebutkan dengan tegas, sehingga menurut sifatnya
menjadi tegas.
-
Semua peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur artinya berlaku untuk
umum.
-
Keputusan penguasa yang dilihat dari segi isinya mempunyai kekuatan mengikat
untuk umum.[20]
o
Menurut Algra
Suatu
peraturan umum yang berasal dari penguasa yang berwenang untuk itu.
o Menurut UU 10/2004
Undang
undang adalah peraturan per-UU-an yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan
bersama presiden (pasal 1 ayat 3).[21]
Syarat
berlakunya ialah diundangkannya dalam lembaran negara (LN = staatsblad) dulu
oleh Menteri/Sekretaris negara. Sekarang oleh Menkuhham (UU No. 10 tahun 2004).
Tujuannya agar setiap orang dapat mengetahui UU tersebut (fictie=setiap orang
dianggap tahu akan UU = iedereen wordt geacht de wet te kennen, nemo ius
ignorare consetur= in dubio proreo, latin).
Konsekuensinya
adalah ketika seseorang melanggar ketentuan hukum tidak boleh beralasan bahwa
ketentuan hukum itu tidak diketahuinya. Artinya apabila suatu ketentuan
perundang-undangan itu sudah diberlakukan (diundangkan) maka dianggap
(difiksikan) bahwa semua orang telah mengetahuinya dan untuk itu harus ditaati.
Berakhirnya/tidak
berlaku lagi jika :
a.
Jangka waktu berlakunya telah ditentukan UU itu sudah lampau.
b.
Keadaan atau hal untuk mana UU itu diadakan sudah tidak ada lagi .
c.
UU itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih
tinggi.
d.
Telah ada UU yang baru yang isinya bertentangan atau berlainan dgn UU yg dulu
berlaku.
Lembaran
negara (LN) dan berita negara :
LN
adalah suatu lembaran (kertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua
peraturan negara dan pemerintah agar sah berlaku. Penjelasan daripada suatu UU
dimuat dalam tambahan LN, yg mempunyai nomor urut. LN diterbitkan oleh Menteri
sekretaris negara, yg disebut dengan tahun penerbitannya dan nomor berurut,
misalnya L.N tahun 1962 No. 1 (L.N.1962/1).
Berita
negara adalah suatu penerbitan resmi sekretariat negara yg memuat hal-hal yang
berhubungan dengan peraturan-peraturan negara dan pemerintah dan memuat
surat-surat yang dianggap perlu seperti : Akta pendirian PT, nama orang-orang
yang dinaturalisasi menjadi WNI, dll.
Catatan
: Jika berkaitan dengan peraturan daerah diatur dalam lembaran daerah.
Kekuatan
berlakunya undang-undang :
• UU
mengikat sejak diundangkan berarti sejak saat itu orang wajib mengakui
eksistensinya UU.
•
Sedangkan kekuatan berlakunya UU berarti sudah menyangkut berlakunya UU secara
operasional.
•
Agar UU mempunyai kekuatan berlaku harus memenuhi persyaratan yaitu 1) Kekuatan
berlaku yuridis, 2) Kekuatan berlaku sosiologis dan, 3) kekuatan berlaku
fiolosofis.
•
Hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
Jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut (Pasal 7 UU
No. 10/2004) : [22]
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3.
Peraturan Pemerintah;
4.
Peraturan Presiden;
5.
Peraturan Daerah (propinsi, kabupaten, desa).
2.4.2 Kebiasaan
Merupakan sumber hukum yang ada dalam
kehidupan sosial masyarakat dan dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang
positif. Namun tidak semua kebiasaan itu mengandung hukum yang adil dan
mengatur tata kehidupan masyarakat sehingga tidak semua kebiasaan dijadikan
sumber hukum. Selain kebiasaan dikenal pula adat istiadat, yaitu himpunan
kaidah sosial berupa tradisi yang umumnya bersifat sakral yang mengatur tata
kehidupan sosial masyarakat tertentu.[23]
Kebiasaan adalah
perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang mengenai hal tingkah laku
kebiasaan yang diterima oleh suatu masyarakat yang selalu dilakukan oleh orang
lain sedemikian rupa, sehingga masyarakat beranggapan bahwa memang harus
berlaku demikian.
Hukum kebiasaan adalah
himpunan kaidah kaidah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan perundangan
dalam suatu kenyataan ditaati juga, kerena orang sanggup menerima kaidah-kaidah
tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak
termasuk lingkungan badan perundang-undangan.[24]
Kebiasaan atau tradisi
adalah sumber hukum yang tertua, sumber dari mana dikenal atau dapat digali
sebagian dari hukum di luar undang-undang, tempat kita dapat menemukan atau
menggali hukumnya.[25]
Kebiasaan merupakan
tindakan menurut pola tingkah laku yg tetap, ajeg, lazim, normal atau dalam
masyarakat maupun dalam pergaulan hidup tertentu. Pergaulan ini dapat merupakan
lingkungan yang sempit seperti desa, tetapi dapat juga luas yang meliputi
masyarakat negara yang berdaulat.
Tidak semua kebiasaan itu mengandung
hukum yang baik dan adil. Oleh karena itu belum tentu suatu kebiasaan atau adat
istiadat itu pasti menjadi sumber hukum. Hanya kebiasan-kebiasaan dan adat
istiadat yang baik dan diterima masyarakat yang sesuai dengan kepribadian
masyarakat tersebutlah yang kemudian berkembang menjadi hukum kebiasaan.
Sebaliknya ada kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan ditolak oleh masyarakat,
dan ini tentunya tidak akan menjadi hukum kebiasaan masyarakat, sebagai contoh:
kebiasaan begadang, berpakaian seronok, dan sebagainya.
Sudikno menyebutkan bahwa untuk
timbulnya kebiasaan diperlukan beberapa syarat tertentu yaitu:
a.
Syarat materiil
Adanya
perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang (longa et
invetarata consuetindo).
b.
Syarat intelektual
Adanya
keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan (opinio necessitatis).
c.
Syarat akibat hukum apabila hukum itu dilanggar[26]
Utrecht,
menyebutkan bahwa: “Hukum kebiasaan ialah kaidah-kaidah yang biarpun tidak
ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan –dalam suasana “werkelijkheid”
(kenyataan) ditaati juga, karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu
sebagai hukum dan telah ternyata kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh
penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk lingkungan badan-badan
perundang-undangan. Dengan demikian hukum kebiasaan itu kaidah yang – biarpun
tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan- masih juga sama kuatnya
dengan hukum tertulis. Apalagi bilamana kaidah tersebut menerima perhatian dari
pihak pemerintah”.[27]
2.4.3 Traktat
Perjanjian yang dibuat antar negara yang
dituangkan dalam bentuk tertentu. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian
internasional. Adapun yang dimuat dalam sebuah traktat pada umumnya adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum dan mengikat negara-negara penanda
tangan. Ini berarti timbulnya suatu traktat yang menciptakan hukum sehingga
dapat digolongkan ke dalam hukum formil.[28]
Traktat
atau perjanjian itu terdiri dari beberapa macam, yaitu:
• Traktat Bilateral
Yaitu
apabila perjanjian dilakukan oleh dua negara. Contoh: Traktat antara pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah Malaysia tentang Perjanjian ekstradisi menyangkut
kejahatan kriminal biasa dan kejahatan politik.
• Traktat Multilateral
Yaitu
perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara. Contoh: Perjanjian kerjasama
beberapa negara di bidang pertahanan dan ideologi seperti NATO.
• Traktat Kolektif/ Traktat Terbuka
Yaitu
perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara atau multilateral yang kemudian
terbuka untuk negara lain terikat pada perjanjian tersebut.
Contoh:
Perjanjian dalam PBB dimana negara lain, terbuka untuk ikut menjadi anggota PBB
yang terikat pada perjanjian yang ditetapkan oleh PBB tersebut.
Adapun
pelaksanaan pembuatan traktat tersebut dilakukan dalam beberapa tahap dimana
setiap negara mungkin saja berbeda, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:[29]
1. Tahap Perundingan
Tahap
ini merupakan tahap yang paling awal biasa dilakukan oleh negara-negara yang
akan mengadakan perjanjian. Perundingan dapat dilakukan secara lisan atau
tertulis atau melalui teknologi informasi lainnya. Perundingan juga dapat
dilakukan dengan melalui utusan masing-masing negara untuk bertemu dan
berunding baik melalui suatu konferensi, kongres, muktamar atau sidang.
2. Tahap Penutupan
Tahap
penutupan biasanya apabila tahap perundingan telah tercapai kata sepakat atau
persetujuan, maka perundingan ditutup dengan suatu naskah dalam bentuk teks
tertulis yang dikenal dengan istilah “Piagam Hasil Perundingan” atau
“Sluitings-Oorkonde”. Piagam penutupan ini ditandatangani oleh masing-masing
utusan negara yang mengadakan perjanjian.
3. Tahap
Pengesahan atau ratifikasi
Persetujuan
piagam hasil perundingan tersebut kemudian oleh masing-masing negara (biasanya
tiap negara menerapkan mekanisme yang berbeda) untuk dimintakan persetujuan
oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.
4. Tahap Pertukaran Piagam
Pertukaran
piagam atau peletakkan piagam dalam perjanjian bilateral maka naskah piagam
yang telah diratifikasi atau telah disahkan oleh negara masing-masing
dipertukarkan antara kedua negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam traktat
kolektif atau terbuka peletakkan naskah piagam tersebut diganti dengan
peletakkan surat-surat piagam yang telah disahkan masing-masing negara itu,
dalam dua kemungkinan yaitu disimpan oleh salah satu negara berdasarkan
persetujuan bersama yang sebelumnya dinyatakan dalam traktat atau disimpan
dalam arsip markas besar PBB yaitu pada Sekretaris Jenderal PBB.
Perjanjian Internasional
atau traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam arti formal.
Dikatakan demikian oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal
tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional.
Dasar
hukum treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang berisi :
(1)
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain;
(2)
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan /atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan DPR.[30]
2.4.4 Yurisprudensi
Pengertian yurisprudensi
di negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih
luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian
yurisprudensi di negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia) hanya
berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan
putusan pengadilan, di negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Sudikno mengartikan yurisprudensi
sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret
terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan
diadakan oleh suatu negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pundengan
cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.
Walaupun demikian, Sudikno menerima
bahwa di samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin
yang dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan.
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua
macam :
a.
Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan pasti, yang terdiri dari :
1)
Putusan perdamaian;
2)
Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;
3)
Putusan pengadilan tinggi yang tidak di kasasi;
4)
Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b.
Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu
diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.[31]
Yurispudensi berarti
peradilan pada umumnya (judicature, rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam
hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh negara serta bebas dari
pengaruh apapun atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan berwibawa.
Dalam uraian ini yang dimaksud dengan
yurispudensi adalah putusan pengadilan. Jadi putusan pengadilan hanya mengikat
orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti
undang-undang. Hakim dilarang untuk membuat peraturan yang bersifat umum yang
mengikat setiap orang dalam putusannya (pas. 21 AB), karena yang berwenang
untuk itu adalah lembaga legislatif.
Fungsi Yurisprudensi: [32]
o
Terwujudnya standar hukum
(law standard) dalam jenis perkara tertentu
ΓΌ Sebagai
pedoman
ΓΌ Agar
putusan yang satu dan yang lain tidak bertentangan
ΓΌ Tidak
merusak citra peradilan
ΓΌ Kepastian
hukum
o
Menciptakan landasan dan
persepsi hukum yang sama (Unified Legal Frame Work – Unified Legal Opinion)
ΓΌ Dapat
membina persamaan landasan hukum yang seragam
ΓΌ Mencitakan
keseragaman nilai dan bahasa hukum yang sama
ΓΌ Dalam
menyelesaikan kasus yang sama diterapkan nilai hukum yang sama dan seragam
o
Tercipta kepastian penegak
hukum (to settle the certainty of law
enforcement)
ΓΌ Perasaan
hukum yang sama
ΓΌ Memantapkan
rasa kebenaran dan keadilan yang sama
ΓΌ Menciptakan
perilaku hukum yang sama
o
Mencegah terjadinya putusan
disparitas (kesenjangan/perbedaan antara yang satu dengan yang lain)
ΓΌ Agar
tidak terjadi difference judge difference sentence
o
Proses peradilan lebih
efisien
2.4.5 Doktrin
Biasanya
hakim dalam memutuskan perkaranya didasarkan kepada undang-undang, perjanjian
internasional dan yurisprudensi. Apabila ternyata ketiga sumber tersebut tidak
dapat memberi semua jawaban mengenai hukumnya, maka hukumnya dicari pada
pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum. Jadi doktrin adalah pendapat para
sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim, dalam
mengambil keputusannya. Di Indonesia dalam hukum Islam banyak ajaran-ajaran
dari Imam Syafi’i yang digunakan oleh hakim pada Pengadilan Agama dalam
pengambilan putusan-putusannya[33].
Pendapat
para sarjana hukum yang ternama juga
mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
Bagi
hukum internasional pendapat para sarjana hukum merupakan sumber hukum yang
sangat penting.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa
pendapat para sarjana hukum yang terkenal itu sangat mempengaruhi kehidupan
hukum, terutama dalam hal yang berkaitan dengan jurisprudensi.
Mahkamah
Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statue of the International
Court of Justice) pada pasal 38 ayat (1) mengakui, bahwa dalam menimbang dan
memutus suatu perselisihan dapat mempergunakan beberapa pedoman antara lain
sebagai berikut: [34]
a. Perjanjian-perjanjian
internasional (international conventions)
b. Kebiasaan-kebiasaan
internasional (international customs)
c. Asas-asas
hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (the general principles of
law recognized by civilized nations)
d. Keputusan
hakim (judical dicisions) dan pendapat sarjana hukum.
Sedangkan hukum Islam juga mengenal
adanya sumber hukum. Kata-kata sumber hukum merupakan terjemahan dari lafazh mashadir al ahkam. Kata-kata tersebut
tidak diketemukan dalam kitab-kitab
hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fiqih dalam ushul fiqih
klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan istilah
dalil-dalil syariat. Pengertian dalil itu menurut Ulama Ushul adalah sesuatu
yang diambil daripadanya, hukum syara’ secara amali, mutlak, baik dengan jalan qath’l atau zhonni.
Menurut penyelidikan dapat dipastikan,
bahwa dalil-dalil syar’iyah, berpangkal kepada empat pokok, yaitu:
a. Al
Qur’an;
b. Al
Sunnah;
c. Al
Ijima’ ; dan
d. Al
Qiyas.[35]
KESIMPULAN
Dari uraian singkat materi mata
kuliah Pengantar Ilmu Hukum dalam makalah ini, disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan sumber hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar
akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Kansil,
C.S.T. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:Balai
Pustaka.
Soeroso,
R (2008). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
http://thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/sumber-hukum-tata-negara/,30
September 2011
http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-hukum/,
30 September 2011
http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?Itemid=74&catid=29%3Afisip&id=95%3Aisip-4130-pengantar-ilmu-hukum-pengantar-tata-hukum-indonesia&option=com_content&view=article,
30 September 2011
Mertokusumo,
Sudikno (2005). Mengenal Hukum;Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2009/08/sekilas-pengertian-sumber-hukum.html,
30 September 2011
(2003).
Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:UIN Jakarta Press.
http://www.scribd.com/doc/39594921/Sumber-Hukum-Formal-Dan-Material,30
September 2011
http://raharjoonline.blogspot.com/2009/02/sumber-hukum-administrasi-negara.html,
30 September 2011
http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/10/sumber-sumber-hukum-compatibility-mode.pdf,
30 September 2011
http://repository.ui.ac.id,
30 September 2011
http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2009/08/sekilas-pengertian-sumber-hukum.html,
30 September 2011
http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/04/sumber-hukum-materil-dan-formil.html
Masriani,
Yulies Tiena, (2008). Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
[1] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum(Jakarta:Sinar Grafika,cetakan
ke-10 2008) hlm.117
[2] Sudikno mertokusumo, Mengenal Hukum;Suatu Pengantar (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, cetakan ke-2 2005) hlm.82
[3] http://thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/sumber-hukum-tata-negara/
[4] http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-hukum/
[5] http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?Itemid=74&catid=29%3Afisip&id=95%3Aisip-4130-pengantar-ilmu-hukum-pengantar-tata-hukum-indonesia&option=com_content&view=article
[6] Sudikno mertokusumo, op.cit,
hlm.82
[7] C.S.T. Kansil, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia(Jakarta:Balai Pustaka, cetakan ke-8 1989)
hlm. 46
[9] R. Soeroso, op.cit, hlm.118
[10] Pengantar Ilmu Hukum(Jakarta:UIN Jakarta Press,cetakan ke-1 2003)
hlm.171
[11] http://www.scribd.com/doc/39594921/Sumber-Hukum-Formal-Dan-Material
[12]UIN Jakarta Press, op.cit, hlm.171
[13]UIN Jakarta Press, op.cit, 172-173
[14] R. Soeroso, op.cit, hlm.118-119
[15] http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/04/sumber-hukum-materil-dan-formil.html
[16] ibid
[17] Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.66
[18] http://raharjoonline.blogspot.com/2009/02/sumber-hukum-administrasi-negara.html
[19] Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.66
[20] R. Soeroso, op.cit, hlm.129
[21] http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/10/sumber-sumber-hukum-compatibility-mode.pdf
[22] http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-hukum/
[23] http://repository.ui.ac.id
[24] R. Soeroso, op.cit, hlm.151
[25] Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.84
[26] Ibid, hlm. 106
[27] Ernast Utrecht,
Pengantar dalam Hukum Indonesia(Jakarta:ichtiar cetakan ke-4 1966) hlm. 120-122
[28] R. Soeroso, op.cit, hlm.171
[29] Ibid, hal.172
[30] http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2009/08/sekilas-pengertian-sumber-hukum.html
[31] Ibid
[32] http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/10/sumber-sumber-hukum-compatibility-mode.pdf
[33] http://raharjoonline.blogspot.com/2009/02/sumber-hukum-administrasi-negara.html
[34] Yulies Tiena Masriani,S.H.,M.Hum. Pengantar Hukum Indonesia,
cetakan ke-4, 2008. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm17
[35] UIN Jakarta Press, op.cit, 185
good article :)
BalasHapusMantab Jiwa :) terimakasih ya ukhti, saya copy dulu :)
BalasHapus